Rabu, 23 November 2011

Peran Dan Tantangan Gereja-Gereja Di Indonesia Dalam Pembangunan Nasional Di Era Globalisasi

oleh : Andreas A Yewangoe

I. Pertanyaan Mendasar
Pertanyaan mendasar yang bisa diajukan di sini adalah, benarkah gereja mempunyai peran dalam pembangunan nasional? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan “ya”, maka dengan sendirinya pertanyaan kedua menyusul, apa tantangan-tantangan yang dihadapi? Tetapi sebelum semua pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, ada baiknya juga kita bertanya, apakah memang ada yang disebut pembangunan nasional, lebih-lebih di era Orde Reformasi ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting dikemukan, guna kita menilai kembali apa yang telah dilakukan, bukan saja oleh gereja, tetapi juga oleh negara pada masa ini.

II. Sekilas Tentang Orde Baru.
Di era Orde Baru sangat jelas kita melihat adanya program-program pembangunan yang dikenal dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Orde Baru di bawah Suharto dengan jelas mengemukakan rencana-rencana ini sejak kekuasan dipegang tahun 1966. Tahapan-tahapan pembangunan lima tahunan juga dirumuskan melalui GBHN oleh MPR, sedangkan Pemerintah menjabarkannya lebih luas dan terinci. Pembangunan-pembangunan itu berjalan dengan baik, setidak-tidaknya secara fisik kita melihat hasil-hasilnya konkretnya. Begitu berhasilnya pembangunan itu sehingga dicanangkan apa yang disebut “Tinggal Landas’, yang mengasumsikan bahwa dalam satu waktu tertentu (sesudah 25 tahun pembangunan), Indonesia akan menyamai, dan/atau setidak-tidaknya mendekati negara-negara maju di dalam kemajuannya. Dengan demikian, kita tidak lagi dimasukkan dalam kelompok ”developing countries” tetapi sudah berada dalam “developed countries”. Kalau kita jujur, kita sesungguhnya sedang menuju ke sana. Kita bahkan dijuluki calon “Singa Asia” di bidang ekonomi.
Hakekat pembangunan nasional pada waktu itu adalah memerangi keterbelakangan dan kemiskinan bangsa. Bangsa ini harus diangkat dari berbagai keterpurukannya, dan diletakkan lagi pada posisinya sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, Negara Kesejahteraan. Sebagaimana kita ketahui Orde Lama, di bawah Sukarno telah mewariskan kepada kita keadaan kesulitan ekonomi yang parah. Bung Karno yang adalah pemimpin yang disegani di Asia bahkan di dunia, agaknya bukan seorang ekonom yang ulung. Atau mungkin lebih tepat, beliau belum melihat persoalan ekonomi sebagai yang mendesak. Beliau lebih mementingkan peranan Indonesia sebagai pelopor di bidang politik dunia yang bercita-cita menghapuskan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Maka Bung Karno sangat sibuk menjalin apa yang disebut “Poros Pyong Yang-Peking-Jakarta (dan berbagai poros lainnya) yang ujung-ujungnya justru mengisolasi Indonesia dari dunia sekitarnya. Politik anti imperialisme dan anti kolonialisme Bung Karno, kendati sangat baik (dan memang benar!), namun cenderung menyebabkan negeri-negeri besar seperti Eropa dan Amerika Serikat memusuhi Indonesia. The New Emerging Forces (Nefos) harus berhadapan dengan The Old Established Forces (Oldefos), di mana pada akhirnya Nefos akan menang. Itulah tatanan dunia baru. Apa yang waktu itu disebut “Perang Dingin” cukup marak ikut menentukan posisi Indonesia di mata dunia. Kendati secara doktrinal dan teoritis Indonesia berada dalam negara-negara non blok, karena politik luar-negerinya yang bebas-aktif (bahkan juga ikut mendirikan Gerakan Non-Blok!), namun di dalam kenyataannya lebih berpihak kepada blok Timur (Sosialis). Kita masih ingat seruan garang Bung Karno kepada Amerika Serikat, ”To hell with your aid!” Ini adalah auman sangat berani pada waktu itu, dan sekaligus juga memupuk semangat nasionalisme yang tinggi. Tetapi akibatnya makin memperparah keadaan ekonomi kita. Bung Karno mencanangkan “politik berdikari” yang tidak cukup menolong membangkitkan ekonomi kita. Inflasi 660%. Uang seribu rupiah dipotong hanya menjadi satu rupiah.
Sementara itu juga ketegangan-ketegangan politik di dalam negeri sebagai akibat politik “jor-joran” di antara partai-partai politik marak. Kendati Bung Karno bertindak sebagai “rekonsiliator” dan “mediator” dengan ide Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), sangat jelas bahwa kekuatan-kekuatan komunis mau menonjol sendiri, dengan berbagai “provokasi”nya. Desas-desus mengenai kesakitan Bung Karno yang serius, makin mengintensifkan persaingan-persaingan itu. Kalau Bung Karno sampai meninggal, demikian diasumsikan, maka “Penyeimbang Kekuasaan” tidak ada lagi. Akibatnya, kita telah tahu dari berbagai buku sejarah, kendati masih perlu buku sejarah ditulis ulang. Singkat ceritera, peristiwa G30S terjadi yang sekaligus merupakan pintu masuk bagi Orde Baru di bawah Suharto mengambil alih kekuasan. Dengan segera Orde ini mencanangkan “Repelita” sebagaimana telah disinggung tadi.

III. Gereja Dan Orde Baru
Bagaimanakah sikap gereja-gereja (khususnya yang tergabung di dalam PGI/DGI) dalam situasi yang baru ini? Tentu saja gereja-gereja tidak berdiam diri. Mereka juga mau ikut serta dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang berkehendak membebaskan masyarakat dari keterbelakangan itu. Dalam Sidang Lengkap (belakangan menjadi Sidang Raya) VII DGI di Pematang Siantar pada tahun 1971, fokus perhatian diarahkan lepada partisipasi gereja-gereja di dalam pembangunan nasional. Gereja-gereja memahami tugasnya sebagai yang diutus Allah di dalam dunia Indonesia yang sedang membangun. Itulah sebabnya dengan sengaja tema Sidang Raya itu dirumuskan sebagai: “Diutus ke dalam dunia”, sedangkan subtemanya berbunyi: “Tugas Kita Dalam Masyarakat Indonesia Yang Sedang Membangun”. Dalam SR ini gereja-gereja menemukan bahwa sesungguhnya Injil adalah Berita Pembebasan, sebagaimana secara jelas dikatakan dalam Lukas 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan Tahun Rakhmat Tuhan telah datang.”
Atas dasar ini gereja-gereja secara aktif mengambil bahagian di dalam pembangunan sebagai upaya pembebasan orang dari berbagai keterbelakangan. Injil adalah berita pembebasan yang tidak boleh diabstraksikan dan dispiritualisasikan. Tentu saja itu tidak berarti bahwa pembangunan yang dilakukan negara identik dengan yang dilakukan gereja. Kepenuhan Kerajaan Allah tidak tergantung pada apakah negara melakukan pembangunan atau tidak. Tetapi semua pembangunan yang dilakukan negara mesti dinilai dari perspektif Kerajaan Allah, apakah sungguh-sungguh mencerminkan keadilan dan pembebasan. Dengan ini pula gereja-gereja di Indonesia mengubah paradigma kehadirannya dalam dunia. Kesalehan pietisme yang agaknya agak dominan di dalam gereja-gereja di Indonesia diubah. Gereja-gereja menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa mereka berpijak di atas bumi Indonesia. Maka nasib bangsa ini adalah pula nasibnya, dan pengharapan bangsa ini adalah pula pengharapannya. Dengan demikian, gereja juga memperlihatkan solidaritasnya dengan bangsa ini. Namun solidaritas itu selalu ditempatkan di bawah terang Kerajaan Allah.
Secara konkret dan praktis, DGI/PGI pada waktu itu membentuk “Departemen Partisipasi Dalam Pembangunan”. Di beberapa daerah/gereja dibangun “Rembug Dharma Cipta” (RDC) sebagai “Pilot Project” bagi pembangunan. Motivator-motivator dididik (di Cikembar) untuk memberi motivasi bagi jemaat-jemaat yang berpartisipasi dalam pembangunan. “Berikan pancing, bukan ikan”, demikian slogan waktu itu, “apabila anda mau melihat pembangunan yang berkelanjutan”. Tetapi juga ada penekanan kepada membangun manusia pembangun. Intinya adalah, janganlah kita terjebak dalam pembangunan material semata-mata yang cenderung membawa kepada konsumerisme, materialisme, hedonisme, dan seterusnya. Sebaliknya bangunlah manusia yang tegar dan tahan secara mental agar ia (mereka) sungguh-sungguh dapat memahami dan menghormati makna pembangunan itu.
Dengan bekal-bekal ini gereja-gereja diserukan untuk menerapkannya. Diakonia tidak sekadar difahami secara kharitatif, tetapi transformatif. Artinya, diakonia yang merupakan tugas gereja itu tidak hanya sekadar memberi perhatian kepada korban-korban pembangunan, tetapi juga berusaha agar jangan sampai terjadi korban-korban. Ini berarti mengarahkan perhatian terhadap struktur masyarakat yang ada, yang cenderung juga bersifat menindas. Tentu saja tugas seperti ini tidak ringan. Tidak semudah itu juga gereja-gereja melakukan tugasnya. Suara “nabi” gereja, kalaupun berani disampaikan tidak dengan gampangnya diterima. Apalagi kalau gereja takut menyampaikannya.



IV. Timbulnya Gerakan Reformasi
Apa yang antara lain ditakutkan gereja justru terjadi di dalam sejarah Indonesia. Pembangunan nasional yang mestinya membebaskan masyarakat dari berbagai kesulitannya justru telah menjadi alat Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pembangunan juga makin lama makin menjadi sebuah ideologi: pembangunan demi pembangunan. Banyak orang berbicara tentang developmentalism, yang pada umumnya merupakan tipe di banyak negeri-negeri sedang berkembang. Slogan “Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila” yang pada intinya menyerukan agar kembali kepada jiwa Pancasila di dalam melaksanakan pembangunan, yang diusulkan gereja dan kemudian diambil alih dalam GBHN justru tidak mampu mencegah masyarakat terjerumus ke dalam keterpurukan. Pencapaian-pencapaian pembangunan yang tadinya lumayan dihargai, justru menjadi keropos. Seakan-akan Indonesia telah membangun rumah di atas pasir. Keadaan ini kemudian dipicu oleh krisis moneter, yang semula terjadi di Thailand (krisis Bath) tetapi lalu meluas ke mana-mana sejak 1997. Kendati Pemerintah berkali-kali mengatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, ternyata keropos. “Adegan” Presiden Suharto menandatangani kontrak baru dengan ditonton oleh Comdesus, fungsionaris IMF merupakan gambaran yang sangat tepat (dan sekaligus menyedihkan!) tentang ketidakmampuan kita menghadapi krisis itu. Kita seakan-akan dipermalukan di hadapan dunia internasional. Peristiwa-peristiwa inilah yang memicu berbagai unjuk rasa dipelopori mahasiswa menuntut Suharto turun. Maka pada 21 Mei 1998, Suharto menyatakan diri turun dan diganti oleh B.J.Habibie yang merupakan presiden transisi. Ia masih dianggap “clan” Suharto, kendati ketika kita membaca catatan-catatannya sekitar pengalihan kekuasaan itu nampak bahwa ia kurang disukai Suharto. Dalam masa pemerintahannya yang pendek itu Habibie telah berhasil melakukan Pemilu, yang sebelumnya didahului dengan kebebasan mendirikan partai-partai politik, kebebasan pers dan sebagainya. Pendeknya sebuah eforia reformasi.
Apakah itu berarti bahwa dengan sendirinya Indonesia dibawa ke era yang penuh pengharapan, masih belum jelas. Begitu banyaknya partai politik misalnya (sekarang sudah 34!) makin membingungkan rakyat. Tidak jelas benar di mana perbedaan antara partai yang satu dengan partai lainnya. Kebebasan menyatakan pendapat melalui unjukrasa, misalnya tidak jarang berubah menjadi perusakan dan pamer kekerasan. Kebebasan pers menjadi sangat bebas, sehingga ada yang mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia hampir tidak punya batas lagi. Pendeknya laksana kuda liar yang baru lepas kendali. Dalam 10 tahun reformasi, kita sudah empat kali berganti presiden. SBY-JK yang dalam kampanyenya mempunyai slogan, “Bersama Kita Bisa”, sekarang diplesetkan menjadi “Bersama Kita Bisa Apa Ya?” Ini indikasi ketidakpuasan masyarakat atas berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kendati angka-angka resmi mengindikasikan kemiskinan berkurang, tetapi di dalam kenyataannya makin banyak orang miskin. Jumlahnya bertambah, tetapi juga terlihat ekstrim. Ada orang miskin yang membunuh diri, dan sebagainya karena tidak bisa melihat perpspektif hidup lagi. Harga BBM naik, kendati dapat difahami karena harga minyak bumi memang naik di dunia, toh tetap menimbulkan persoalan-persoalan baru. Ia memicu harga-harga naik. BLT kendati kelihatannya menolong orang miskin, tetapi sesungguhnya menjerumuskan orang kepada ketergantungan jenis baru. PLN menggilir pemadaman listrik. Ini tidak main-main, sebab dengan demikian para investor akan segan berinvestasi. Bagaimana bisa bekerja kalau listrik tidak stabil? Keamanan dalam negeri sudah mulai baik, kendati baru-baru ini ditemukan lagi di Palembang sekian banyak bom yang siap ledak. Untunglah polisi dapat menggulung itu semua dan menangkap para pelakunya. Konon mereka mempunyai kaitan dengan Jamiah Islamiyah dan Al-Qaedah. Mengapa agama selalu dipakai sebagai alat pemicu kebencian kepada sesama? Itulah pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Dengan kenyataan-kenyataan ini, lalu orang bertanya inikah civil society yang kita kehendaki? Jangan lupa bahwa tujuan gerakan reformasi adalah mewujudkan sebuah masyarakat berkeadaban (civil society) di Indonesia. Ciri-ciri masyarakat itu antara lain, masyarakat menengahnya yang kuat, ada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, taat kepada hukum yang berkeadilan, dewasa dalam bertindak, independen dalam berpikir, dan sebagainya. Kalau tidak ada toleransi misalnya terhadap mereka yang berpandangan lain, maka kita sedang berjalan mundur. Kita makin jauh dari civil society yang kita cita-citakan itu.

V. Gereja Dan Gerakan Reformasi
Tentu pertanyaannya adalah bagaimana sikap gereja terhadap gerakan reformasi? Jawabannya adalah, gereja mendukung. Tentu saja ada “blaming” (menyayangkan) terhadap gereja, bahwa gereja selalu terlambat dalam memberi respons. Tetapi tidak apa-apa. Lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Sidang Raya XIV PGI (2004) dengan jelas merumuskan subtemanya sebagai, ”Bersama-sama Dengan Seluruh Elemen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Sipil yang Kuat dan Demokratis Untuk Menegakkan Kebenaran, Hukum yang Berkeadilan, Serta Memelihara Perdamaian”. Dengan ini gereja-gereja bertekad untuk ikut serta di dalam membentuk masyarakat berkeadaban yang merupakan sebuah masyarakat baru Indonesia. Tetapi hal itu hanya dapat dilakukan bersama-sama dengan saudara-saudara lain sebangsa dan setanah air. Tidak bisa dilakukan hanya oleh gereja (dan orang Kristen) saja. Masyarakat berkeadaban itu adalah sebuah masyarakat yang kuat, tidak pertama-tama dalam arti fisik, tetapi dalam komitmennya untuk menerapkan demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukanlah sekadar mengandalkan jumlah (kalau mayoritas dengan sendirinya menang!), tetapi terutama nilai-nilai yang terkandung di dalammya. Adakah demokrasi itu mengandung penghormatan kepada hak-hak asasi manusia, mempunyai komitmen tinggi kepada penegakan hukum yang berkeadilan, dan mengupayakan agar selalu damai yang ada di dalam masyarakat? Kalau hanya sekadar ramai-ramai tidak tentu juntrungan, tentu bukan itulah tujuan civil society.
Apa yang dirumuskan itu dimaksudkan agar menjadi pedoman bagi gereja-gereja di dalam memasuki situasi baru ini. Kita mengharapkan bahwa setiap gereja telah menjabarkan semua yang dirumuskan oleh SR ini di dalam agenda gerejanya masing-masing. Kita menyadari bahwa pergumulan untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban ini tidak mudah. Waktu dibutuhkan. Tidak bisa diforsir. Tidak bisa hanya secara instan.
Di dalam kenyataan sekarang ini, kita berhadapan dengan keadaan yang makin menjauhkan kita dari cita-cita civil society itu. Rencana pembangunan sebagaimana dikenal dalam rezim Orde Baru tidak ada lagi. Sebaliknya daerah-daerah, atas dasar UU Otonomi Daerah telah mempunyai rencana sendiri-sendiri, yang tidak jarang berbenturan dengan daerah lainnya. Demokrasi masih belum difahami dan dihayati dengan baik, seperti misalnya terjadi ketika seorang kandidat tidak mengakui kekalahannya. Masyarakat kita cenderung tidak sabar terhadap mereka yang berpendapat lain. Salah satu ciri masyarakat berkeadaban adalah kalau kita mampu berbeda pendapat. “Saya berbeda pendapat dengan anda, tetapi kalau ada yang tidak mengizinkan anda berbeda pendapat dengan saya, maka sayalah orang pertama yang membela hak anda,” demikian antara lain dikatakan oleh seorang arif bijaksana pada masa lampau. Belum lagi kita mengalami ancaman penyakit HIV/AIDS, narkoba dan seterusnya yang makin membuat kita cemas.


VI. Indonesia di Tengah-tengah Globalisasi
Dengan menyebutkan ancaman-ancaman tadi, maka secara tidak langsung kita telah menyentuh persoalan globalisasi. Kita sekarang sudah sangat biasa dengan istilah ini sehingga kita tidak sadar bahwa istilah ini pada mulanya dipopulerkan di kalangan para ahli ekonomi. Alan Rugman misalnya mendefenisikannya sebagai, “the activities of multinasional enterprises engaged in foreign direct investement and the development of business networks to create value across nasional borders.” Dari defenisi tersebut hal-hal berikut dicatat: 1. adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahan-perusahan bersifat multinasional; 2. kegiatan-kegiatan itu terikat dalam investasi di luarnegeri yang bersifat langsung; 3. kegiatan-kegiatan bisnis itu diikat dalam jejaring bisnis; 4. ada nilai-nilai yang diciptakan yang melampaui batas-batas negara. Karena kacamata yang dipakai di sini adalah kacamata ekonomi, maka banyak orang menilainya terlampau sempit. John Tomlison, seorang sosiolog berpendapat bahwa globalisasi mestilah dipandang secara multi-dimensional. Ia memahami globalisasi, “in terms of simultaneous, complex related process in the realms of economy, politics, culture, technology and soforth…” Anthony Giddens, seorang direktur dari London School of Economics berargumentasi bahwa dengan globalisasi relasi-relasi sosial tidak lagi bersifat lokal, tetapi meluas melampaui waktu dan ruang. “A common global capitalists culture is alleged to be spread by the power of multinational enterprises.” Terjadilah apa yang disebut “deterritorialization” kebudayaan sebagai akibat dari hibridasi kebudayaan. Maka menurut Giddens, “globalization is political, technical and cultural, as well as economic.”
Dengan sengaja saya menampilkan defenisi-defenisi tentang globalisasi di sini agar kita menyadari bahwa gejala ini telah menguasai umat manusia hingga sekarang dan difahami juga secara sangat luas. Memang ada yang mengatakan, bahwa apa yang disebut globalisasi bukanlah hal baru di dalam sejarah manusia. Bukankah ketika Columbus mengelilingi dunia, proses itu telah berlangsung? Benar, tetapi sekarang ini oleh majunya teknik komunikasi, proses itu makin dipercepat. SMS yang dikirim melalaui HP telah bisa mencapai seluruh dunia hanya dalam tempo beberapa detik. Beberapa waktu lalu kita semua menonton pertandingan piala Eropa dalam waktu bersamaan., kendati jam berbeda. Pendeknya segala sesuatu telah mengglobal. Banyak hal positif dari globalisasi itu. Tetapi tidak kurang juga hal-hal negatif. Terorisme misalnya sudah sangat mengglobal berkat komunikasi yang maju itu. Bahkan solidaritas di antara para teroris dapat dipupuk dan disuburkan melalui proses itu.
Menghadapi proses ini, maka apa yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi di bagian dunia lain. Indonesia hanyalah merupakan salah satu titik di dalam ribuan titik-titik lainnya di dalam proses globalisasi.
Bagaimana dengan gereja-gereja? Dari semula gereja-gereja telah berbicara tentang oikoumene. Ini berasal dari dua patah kata Yunani, oikos=rumah; dan menein=mendiami. Jadi oikoumene berarti kita sebagai umat manusia mendiami rumah yang sama yaitu yang disebut bumi. Itu berarti kita semua bertanggungjawab agar bumi kita ini menjadi bumi yang layak didiami. Maka gerakan oikoumene adalah gerakan bersama dengan seluruh umat manusia agar bumi kita layak didiami. Oikoumene juga, dengan demikian merupakan koreksi terhadap proses globalisasi yang tidak terkendali.
Selama dalam dunia ini masih terdapat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, masih diprakekkaannya secara luas ketidakadilan, tidak ditegakkannya hukum yang berkeadilan, tidak dihormatinya hak-hak asasi manusia, dan seterusnya, maka selama itu juga bumi adalah bumi yang belum layak didiami. Kita, dengan demikian harus bersama-sama memperjuangkan agar bumi layak didiami. Di sinilah kita melihat bahwa tugas dan tanggungjawab gereja tidak bisa dihindari dan diingkari.

VII. Jadi Adakah Peranan Gereja?
Dari uraian-uraian tadi sangat jelas bahwa peran gereja ada. Namun sangat tergantung dari kesadaran gereja sendiri apakah ia menyadari bahwa ia mempunyai peranan, dan bagaimana peranan itu dijalani. Kalau gereja diam saja, maka ia tidak menyadari perannya. Gereja semacam ini akan menjadi gereja introvert yang hanya berorientasi kepada dirinya sendiri. Dalam perkembangan yang begitu cepat dewasa ini, gereja seperti ini lambat atau cepat akan hilang. Maka tantangan yang dihadapi gereja adalah bagaimana ia mampu dan peka untuk membaca berbagai perkembangan-perkembangan di dalam masyarakatnya. Tanpa kemampuan ini gereja menjadi lumpuh dan tidak berdaya. “Ia seperti garam yang menjadi tawar dan karena itu dibuang dan dipijak-pijak orang” (Mt.5:13).

_____________
*) Disampaikan Dalam Seminar Memperingati 4 Tahun Tertembaknya Pdt Susianti Tinulele S.Th. oleh GKST di Palu-Sulawesi Tengah.
**) Ketua Umum PGI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Popular Posts

Kategori

Pengikut