|
Pengakuan Seorang Ekonom Perusak
Judul buku : Confessions of An Economic Hit Man Penulis : John Perkins Penerbit : Abdi Tandur, Jakarta Halaman : 278 Inilah
"pengakuan dosa" dan kesaksian seorang ekonom bayaran Amerika Serikat
yang ditugasi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara dunia
ketiga dan terbelakang (less-developed countries) melalui politik utang kepada negara adikuasa. Membaca buku karya John Perkins--salah seorang economic hit man--ini seperti membaca novel thriller: memukau, provokatif, dan penuh dengan ketegangan batin sang penulis.
Pengalaman pribadinya sebagai ekonom perusak disajikan secara
blak-blakan dan terus terang dalam buku ini. Ia menceritakan bagaimana
profil seorang agen terselubung hasil rekrutmen National Security Agency
(NSA), organisasi spionase Amerika yang paling sedikit diketahui tapi
terbesar. Dia telah berkelana ke berbagai pelosok dunia, seperti
Indonesia, Panama, Ekuador, Kolombia, Arab Saudi, Iran, dan negeri
strategis lainnya.
Tugas utama Perkins sebagai economic hit man (EHM) adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan corporatocracy
(koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan
korporasi) Amerika sambil menyatakan minat mereka untuk mengurangi
derajat kemiskinan di negara dunia ketiga yang kaya akan sumber daya
alamnya.
Perkins dan teman-temannya berperan sebagai agen spionase terselubung. Mereka membuat economics forecast untuk suatu negara klien corporatocracy
(seperti telah dilakukan di Indonesia dalam proyek elektrifikasi Pulau
Jawa sejak 1970-an) serta membantu penerapan skema ekonometrik yang akan
mengucurkan dana jutaan dolar.
Perkins dalam bukunya ini memaparkan berbagai cara terselubung--ala
kapitalis global yang rakus dan amoral--untuk mengendalikan sejumlah
peristiwa dramatis dalam sejarah, seperti kejatuhan Shah Iran, kematian
tragis Presiden Panama, Omar Torrijos, dan invasi militer Amerika ke
Panama dan Irak. Buku Confessions of an Economic Hit Man--yang
diperingatkan banyak kalangan agar tidak ditulis--mengemukakan pemahaman
tentang sistem yang memacu globalisasi dan memicu kemiskinan jutaan
umat manusia di seluruh dunia.
Para agen economic hit man adalah segelintir profesional
berpenghasilan sangat tinggi yang mengecoh pemerintahan suatu negeri
triliunan dolar. Mereka menyalurkan dana dari Bank Dunia, Asian
Development Bank (ADB), dan organisasi bantuan lainnya menjadi dana
korporasi raksasa.
Sarana mereka meliputi antara lain rekayasa laporan keuangan yang
menyesatkan, praktek penyuapan, pemerasan, agen penggermoan (wanita dan
seks), serta pembunuhan terencana yang keji. Para EHM seperti Perkins
memainkan peranan yang telah menentukan dimensi baru dan mengerikan
selama era globalisasi.
Para agen EHM ini bekerja berdasarkan pesan sponsor dari negara adikuasa
yang berniat mewujudkan sebuah imperium global untuk melakukan
penyesatan skema ekonometrik agar hasil forecast-nya memenuhi
syarat untuk memperoleh dana bantuan yang lebih menyerupai utang yang
menjerat dan mencekik negara penerima. Dana pinjaman yang begitu besar
jumlahnya itu dikucurkan oleh negara kreditor--melalui agen EHM--dengan
tujuan utama sebagai alat untuk mencengkeram negara bersangkutan.
Akhirnya, negara penerima utang itu menjadi target yang lunak ketika
negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan
militer, suara di PBB, serta akses yang mudah untuk mengeksplorasi
sumber daya alam (minyak bumi, gas, dan emas) yang dimiliki negara
penerima utang.
Dana bantuan disalurkan melalui Chas. T. Main, Inc. (MAIN), sebuah
perusahaan konsultan multinasional yang bertanggung jawab atas kajian
untuk menentukan apakah Bank Dunia seyogianya memberikan pinjaman kepada
suatu negara. Dana korporasi global ini juga disalurkan melalui
perusahaan Amerika lainnya dalam proyek perekayasaan dan konstruksi.
Perkins menyebut di antaranya perusahaan multinasional Bechtel,
Halliburton, dan Stone & Webster.
Namun, tidak semua pemerintahan tunduk pada model corporatocracy
yang dibangun para agen EHM ini. Menurut catatan Perkins, terdapat dua
penguasa (elite politik) yang secara berani dan tegas menolak
"perselingkuhan" bisnis dan politik dengan EHM ini. Mereka adalah
Presiden Panama (Omar Torrijos) dan Presiden Ekuador (Jaime Roldos).
Layaknya dalam dunia mafioso, para pembangkang seperti ini, menurut
kepentingan corporatocracy, harus dieksekusi mati secara tragis
pula. Keduanya tewas dalam suatu kecelakaan pesawat terbang (yang
diledakkan dengan bom) dan tabrakan yang mengerikan.
Perkins secara jujur meyakini bahwa kematian mereka bukan kecelakaan biasa karena human error, tapi ada tangan terselubung dan sangat rahasia yang dimainkan CIA. Mereka "dihabisi" karena menentang keinginan dan fraternity dengan para pemimpin corporatocracy, pemerintah negara adikuasa, dan perbankan yang berkehendak membentuk imperium global.
Melalui buku Confessions of an Economic Hit Man ini, Perkins juga
menyajikan sedikit kesannya ketika ditugaskan di Indonesia, sebuah
negeri di Asia Tenggara yang disebutnya "di Timur yang eksotik" (halaman
22-56). Selama berada di Indonesia, ia telah berinteraksi dengan
masyarakat marginal di Jakarta dan Bandung yang hidup di kawasan kumuh
berumah kardus.
Penugasannya di Indonesia (pada 1970-an) itu untuk membuat rencana strategi energi (to create a master energy plan)
di Pulau Jawa. Sebagai ekonom EHM, Perkins ditugasi untuk menghasilkan
model ekonometrik bagi Indonesia. Di situlah saatnya para agen EHM
memanipulasi data statistik untuk menghasilkan sebuah asumsi ekonomis
demi memperkuat kesimpulan yang direkayasa oleh para analis bagi
kepentingan corporatocracy.
Sebuah pertanyaan cerdas dan menggelitik muncul berkenaan dengan terbitnya buku Confessions of an Economic Hit Man ini: benarkah IMF pada masa krisis moneter di Indonesia (1997/1998) berperan ganda sebagai agen EHM bagi kepentingan corporatocracy?
Banyak pengamat dan analis ekonomi bersikap skeptis pada peran IMF dalam
memulihkan perekonomian Indonesia. Di antara mereka itu bahkan menuduh
IMF dan Bank Dunia sebagai dua lembaga finansial dunia yang justru
membawa Indonesia memasuki jurang krisis yang lebih dalam lagi serta
menciptakan ketergantungan yang sangat mengkhawatirkan.
SYAFRUDDIN AZHAR, PENGAMAT PERBUKUAN DAN EDITOR PADA PT ICHTIAR BARU VAN
HOEVE, JAKARTA (dimuat di Koran Tempo Minggu, 30 Oktober)
|
|
|
|