Andreas A. Yewangoe
I. Diakonia Sebagai Salah Satu Tugas Gereja
Pada umumnya
gereja-gereja memandang diakonia sebagai salah satu tugas gereja, di samping
koinonia (persekutuan) dan marturia (kesaksian). *1 Kadang-kadang ada yang
menambahkan oikonomia, yang mempunyai sangkut-pautnya dengan oikomene. *2
Istilah diakonia sendiri dijabarkan dari kata diakonos yang prototipenya
dilihat pada pelayanan yang dilakukan oleh Stefanus dan kawan-kawan (Kis.
6:1-6). *3 Menurut kisah ini ada ketidakpuasan di antara orang-orang Yahudi
yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani karena diabaikan pembagian
kepada janda-janda mereka di dalam pelayanan sehari-hari. Menanggapi hal itu,
rasul-rasul mengangkat tujuh orang, “yang terkenal baik, dan yang penuh dengan
Roh dan hikmat”.
Dari
penjelasan singkat ini kita mengetahui bahwa mereka dithabiskan untuk
melaksanakan tugas-tugas khusus. Sebelum mereka melaksanakan tugas khusus ini,
para rasul-rasul “berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka”. Tugas mereka adalah untuk membantu para
rasul-rasul, khususnya yang mempunyai sangkut-pautnya dengan bantuan-bantuan
bersifat material. Khusus mengenai Stefanus, kelihatannya ia juga
menjalankan pelayanan pemberitaan Firman. Bahwa ia merupakan martir pertama
membuktikan bahwa tugas diakonos bukannya tugas sepele.
Kelihatannya
di dalam gereja mula-mula itu tugas-tugas para diakonos beraneka ragam. Mereka
membantu para imam atau uskup, baik di dalam penyelenggaraan liturgi dan
pelayanan pastoral, maupun dalam administrasi jemaat. Kenyataan ini juga
memperlihatkan bahwa agaknya para diakonos tidak mempunyai wewenang untuk
sendiri melaksanakan tugas-tugas itu. *4
Menurut para
ahli, istilah “diakonat” sendiri tidak terlalu jelas maknanya. Istilah yang
dipakai di dalam PB, diakoneo mempunyai berbagai arti. Kata kerja, diakonein
berarti, “melayani di meja makan”. Tetapi juga berarti, “memperhatikan agar
persediaan mencukupi”. Selanjutnya diartikan sebagai, “melayani” saja. Dapat
difahami bahwa diakonos sebagaimana disinggung oleh PB, berarti melaksanakan
tugas-tugas pelayanan dan tugas-tugas yang diperluas, yaitu baik melayani di
meja perjamuan dan juga tugas-tugas sosial lainnya. Hal ini terlihat misalnya
dalam I Kor. 11:20-22 yang juga mempunyai kaitan dengan Kis. 2:44-46.
II. Diakonia Tugas Seluruh Jemaat
Sebagaimana
telah dikemukakan, diakonia adalah jabaran dari tugas-tugas gereja yang
(seolah-olah) direpresentasikan oleh para diakonos. Tetapi itu tidak berarti
bahwa hanya para diakonoslah pelaku tugas-tugas itu. Atau bahwa para diakonos
melakukannya berdasarkan tanggungjawab mereka sendiri. Sesungguhnya gerejalah
yang bertanggungjawab. Maka gereja sebagai suatu keseluruhan dan kesatuan
justru melaknakan tugas diakonia. Ini juga mau menegaskan bahwa gereja tidak
bisa difahami keberadaannya tanpa diakonia. Prof. Dr. H. Berkhof, mantan Guru
Besar Teologi pada Universitas Leiden (Negeri Belanda) , *5 menegaskan bahwa
diakonia adalah yang memperantarai Firman Allah yang menyelamatkan itu, yang
ditujukan kepada manusia. Dengan demikian Firman itu tidak hanya firman yang
kosong, melainkan firman dan perbuatan sekaligus. Berkhof mengingatkan bahwa di
dalam bahasa Ibrani, istilah dabar sekaligus berarti firman dan perbuatan . *6
Sebagai demikian, keselamatan yang diberitakan kepada kita bukan sekadar
wacana, tetapi suatu kekuatan yang memperharui. Maka khotbah lebih dari sekadar
kata-kata, dan persekutuan meja (boleh dibaca: Perjamuan Kudus) lebih dari
sekadar simbol. Tetapi sekaligus juga harus dikatakan bahwa kekuatan yang
memperbaharui ini mempunyai lebih dimensi (matra) ketimbang kata-kata dan
gambaran-gambaran yang kita berikan. Terlihat dengan jelas juga, bahwa
keselamatan tidak hanya mengenai hati, tetapi juga seluruh bidang kehidupan.
Keselamatan bersifat total dan komprehensip.
III. Apakah Keselamatan?
Berhubung
dengan pernyataan bahwa keselamatan bersifat total, maka pertanyaan mendasar
yang diajukan adalah, apakah sesungguhnya keselamatan itu? Berkhof menjawab,
bahwa keselamatan adalah jawaban terhadap keterasingan berganda dari manusia,
yaitu keterasingan terhadap Allah dan keterasingan terhadap dirinya sendiri.
Keterasingan terhadap Allah disifatkan sebagai kesalahan (dosa), sedangkan
keterasingan terhadap dirinya sendiri nampak dalam kemalangan dan kecelakaannya.
Ketika Kristus datang, yang juga berarti tibanya Kerajaan Allah itu dan
sekaligus Roh Kudus mengambil bagian di dalamnya, maka mestilah jelas juga
keselamatan (penyelamatan) dari dosa dan kemalangan/kecelakaan dalam
bentuk-bentuk konkret. Kalau tidak, maka keselamatan itu belumlah menjadi
kenyataan. Diakonia adalah bentuk kepengentaraan keselamatan ini, kendati tentu
saja tidak bisa diidentikkan dengan keselamatan itu sendiri. Namun demikian
sangat jelas bahwa karya Allah melalui pengalaman-pengalaman Israel, maupun di dalam Yesus
Kristus, selalu mempunyai dimensi-dimensi historis dan horizontal.
Dimensi-dimensi itu terlihat dalam peristiwa-peristiwa pembebasan dari
perbudakan di Mesir, pembebasan dari berbagai situasi bahaya yang sering juga
merupakan kesalahan Israel
sendiri, pada akhirnya dimahkotai dengan pembebasan dari penawanan Babilonia.
Belakangan di dalam lingkungan Israel
sendiri dimensi pembebasan ini disingkapkan melalui perhatian serius kepada
para janda dan anak yatim piatu, orang-orang miskin dan orang-orang asing.
Demikian juga melalui hidup dan pekerjaan Yesus kita melihat bahwa Beliau tidak
sekadar berkhotbah, melainkan juga menyelenggarakan makan bersama dengan kaum
pemungut cukai dan orang-orang berdosa, dan menyembuhkan yang sakit dan yang
dirasuk setan. Dengan demikian Beliau menerjemahkan pembebasan dari dosa dan
kemalangan/kecelakaan di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sekaligus
menjelaskan bahwa Kerajaan Allah semakin dekat. Roh Kudus melanjutkan pekerjaan
ini di dalam jemaat. Dari kitab Kisah Rasul kita memperoleh kesan bahwa jemaat
mula-mula itu sangat memperhatikan agar tidak boleh ada seorangpun yang
berkekurangan. Semua ini memperlihatkan bahwa diakonia adalah tugas gereja
secara institusional. Kepada jemaat terus-menerus diinsyafkan bahwa pelayanan
diakonia bukanlah suatu pekerjaan fakultatif belaka, tetapi adalah wujud
keselamatan di dalam segi-seginya yang material, sosial, politik dan universal.
*7
IV. Diakonia Didasarkan Atas Kasih Kristus
Kasih Kristus tidak mengenal
batas-batas apapun: suku, agama, ras, etnis, dan sebagainya. Kasih itu
melampaui segala batas-batas yang ada. Itu berarti bahwa pelaksanaan diakonia
juga tidak dibatasi pada kelompok tertentu saja. Di mana saja
kemalangan/kecelakaan manusia terdapat, diakonia mesti dijalankan. Gampang
mengucapkan prinsip ini, tetapi tidak selalu mudah menerapkannya. Ketika Mother
Theresa memulai kegiatan-kegiatannya di India untuk menolong orang-orang yang
selama ini dinafikan masyarakat (the untouchable), ia dicurigai seakan-akan mau
mengkatolikkan India.
Atau mau merusak “tatanan” masyarakat yang secara rapih telah diatur dalam
pembagian kasta-kasta. Namun dengan ketekunan tanpa batas, ia pada akhirnya
dapat memenangkan kepercayaan itu. Dalam suasana masyarakat majemuk seperti Indonesia
misalnya, kecurigaan di dalam melaksanakan diakonia tetap ada. Isu kristenisasi
tetap marak, lebih-lebih lagi dewasa ini. Bagaimana memenangkan kepercayaan
masyarakat (yang dilayani), sangat tergantung dari kemampuan kita memahami
tugas diakonia bukan sebagai “yang ditaklukkan” di bawah tugas pemberitaan,
tetapi sebagai pemberitaan itu sendiri. Maka ukurannya adalah apakah
benar-benar diakonia mengungkapkan pembebasan sebagaimana dikemukakan dalam
Lukas 4:18-19; “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
V. Diakonia Kharitatif atau Transformatif?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini tidak jarang muncul dalam sepuluh-duapuluh tahun terakhir ini.
Diakonia kharitatif adalah diakonia yang merefleksikan belaskasih Allah kepada
orang-orang yang menderita. Konon gereja-gereja telah melaksanakan hal itu.
Dalam setiap menjelang Natal
atau hari-hari raya gerejawi lainnya, biasanya sumbangan-sumbangan diberikan
kepada para janda dan anak-anak yatim-piatu. Demikian juga apabila ada
malapetaka menimpa masyarakat, jemaat-jemaat kita dihimbau bahkan diminta untuk
memberikan sumbangan-sumbangannya. Semua ini tidak salah. Hanya saja belum
cukup, demikian pandangan orang. Harus ada diakonia yang bersifat
transformatif. Artinya diakonia tidak hanya memperlihatkan belaskasihan kepada
para korban, tetapi mencegah agar jangan sampai terjadi korban-korban baru.
Berbicara tentang hal ini, mau tidak mau mengarahkan perhatian kita kepada
suatu struktur sebuah masyarakat yang tidak adil. Di Amerika Laten, pada
tahun-tahun 70-an marak sekali apa yang disebut teologi-teologi pembebasan
sebagai reaksi terhadap masyarakat yang dikuasai oleh “the oppressor-oppressed
axis”. *8
Bagaimana
meniadakan struktur tidak adil ini bukan perkara mudah. Mungkin juga sangat
besar, sehingga hampir tidak mungkin merealisasikannya. Mampukah gereja
mengekpresikan dan mengupayakan keadilan di tengah-tengah ketidakdilan global
yang dipelopori Amerika Serikat misalnya? Bagaimana kalau gereja sendiri ikut
larut di dalam ketidakadilan global itu, seraya menikmati hasil-hasilnya,
sebagaimana secara telanjang direfleksikan dalam teologi-teologi sukses? Di
Filipina misalnya, sebuah negeri yang sangat dipengaruhi teologi pembebasan
Amerika Laten, marak pendapat di kalangan para teolog pembebasan, bahwa
perumpamaan mengenai seorang Samaria
yang murah hatinya harus ditafsir ulang. Sebagaimana kita ketahui, percakapan
Yesus dengan para pencobanya pada hakekatnya hendak menegaskan siapa
sesungguhnya sesama manusia dari si korban itu (orang yang dirampok perampok!).
Tafsiran itu tidak salah. Hanya saja, katanya apa yang dilakukan si orang Samaria itu masih bersifat
kharitatif. Ia hanya memperlihatkan belaskasihan kepada si korban. Sesungguhnya
ada yang lebih harus dibuat, yaitu mencegah agar jangan sampai perampokan
terjadi. Hal itu berarti mengubah struktur masyarakat yang tidak adil menjadi
adil.
Tentu saja pekerjaan ini tidak mudah. Berkhof menegaskan bahwa guna melakukan tugas seperti itu harus ada sikap kritis luar biasa terhadap masyarakat yang di dalamnya kita hidup. *9 Ketika Mother Theresa ditanyakan persoalan ini, ia menyatakan bahwa tugasnya adalah menolong para korban. Untuk mengubah masyarakat, biarlah orang lain melakukannya. Rupanya Mother Theresa menyadari keterbatasannya dibanding misalnya dengan pemegang kekuasaan yang dapat saja memaksakan kehendaknya. Tentu saja ada jalan lain di dalam upaya-upaya mengubah struktur masyarakat yang bersifat menindas, misalnya dengan melakukan penyadaran (conscientisation) terhadap golongan masyarakat yang selama ini termajinalkan. Tetapi itupun belum merupakan jaminan bagi adanya perubahan apabila kekuatan dari struktur yang menindas begitu kuat. Tentu saja sebagai gereja kita tidak boleh berputus asa menyampaikan suara-suara kenabian kepada para penguasa (dan kepada bangsa pada umumnya). Hal itu harus dilakukan terus-menerus, kendati pada akhirnya bisa juga tidak lebih dari tetesan-tetesan air di atas padang gurun yang kering kerontang. Namun ada pula contoh bahwa suara gerejapun bisa didengar seperti dalam peristiwa apartheid di Afrika Selatan di masa-masa pemerintahan rezim minoritas kulit putih. Tekanan-tekan dari pihak luar juga dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Tentu saja pekerjaan ini tidak mudah. Berkhof menegaskan bahwa guna melakukan tugas seperti itu harus ada sikap kritis luar biasa terhadap masyarakat yang di dalamnya kita hidup. *9 Ketika Mother Theresa ditanyakan persoalan ini, ia menyatakan bahwa tugasnya adalah menolong para korban. Untuk mengubah masyarakat, biarlah orang lain melakukannya. Rupanya Mother Theresa menyadari keterbatasannya dibanding misalnya dengan pemegang kekuasaan yang dapat saja memaksakan kehendaknya. Tentu saja ada jalan lain di dalam upaya-upaya mengubah struktur masyarakat yang bersifat menindas, misalnya dengan melakukan penyadaran (conscientisation) terhadap golongan masyarakat yang selama ini termajinalkan. Tetapi itupun belum merupakan jaminan bagi adanya perubahan apabila kekuatan dari struktur yang menindas begitu kuat. Tentu saja sebagai gereja kita tidak boleh berputus asa menyampaikan suara-suara kenabian kepada para penguasa (dan kepada bangsa pada umumnya). Hal itu harus dilakukan terus-menerus, kendati pada akhirnya bisa juga tidak lebih dari tetesan-tetesan air di atas padang gurun yang kering kerontang. Namun ada pula contoh bahwa suara gerejapun bisa didengar seperti dalam peristiwa apartheid di Afrika Selatan di masa-masa pemerintahan rezim minoritas kulit putih. Tekanan-tekan dari pihak luar juga dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Pada akahirnya
memang dibutuhkan baik diakonia kharitatif maupun transformatif. Di mana
diakonia transformatif belum bisa direalisasikan, sebaiknya gereja menjalankan
diakonia kharitatif. Jangan sampai hanya karena mencita-citakan sebuah diakonia
transformatif, lalu tugas gereja untuk memberi perhatian terhadap korban-korban
diabaikan.
VI. PGI ( dan Gereja-gereja) dan Diakonia
PGI (dan
gereja-gereja) merumuskan pemahaman diakonianya dalam dokumen “Pokok-pokok
Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) yang merupakan bagian dari “Dokumen Keesaan
Gereja” (DKG). Selain itu juga dirumuskan dalam dokumen “Pemahaman Bersama Iman
Kristen” (PBIK), par.20 .*10 Dasar pemikirannya adalah pemahaman gereja
terhadap Injil sebagai berita pembebasan sebagaimana dirumuskan dalam Sidang
Lengkap (belakangan bernama Sidang Raya) VII Dewan Gereja-gereja di Indonesia
(DGI) di Pematang Siantar (1971). Dokumen PTPB diterima di dalam Sidang Raya di
Ambon (1984), pada saat mana DGI berubah menjadi PGI. Dokumen itu telah menjadi
pedoman bagi gereja-gereja untuk merumuskan program-program kerjanya masing-masing.
Setidak-tidaknya diharapkan demikian, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa
tidak semua gereja-gereja melaksanakan itu. PTPB sebagai salah satu dokumen di
dalam DKG diperbaharui setiap lima
tahun dengan memperhatikan tema dan subtema Sidang Raya terakhir. Untuk tahun
2004-2009, SR memilih temanya: “Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu..” (Rm.12:2b),
sedangkan subtemanya berbunyi: “Bersama-sama Dengan Seluruh Elemen Bangsa
Mewujudkan Masyarakat Sipil Yang Kuat Dan Demokratis Untuk Menegakkan Kebenaran,
Hukum Yang Berkeadilan, Serta Memelihara Perdamaian.”
Dibimbing oleh
tema dan subtema ini, gereja-gereja merumuskan keprihatinan diakonisnya sebagai
“berpartisiasi dan melayani dalam era reformasi”. *11 Yang dimaksud dengan era
reformasi adalah era ketika bangsa Indonesia melepaskan diri dari dominasi Orde
Baru yang otoriter, penuh dengan KKN, dan memasuki satu era yang diharapkan
dapat mewujudkan sebuah masyarakat berkeadaban (civil society). Masyarakat itu
adalah sebuah masyarakat yang dewasa, yang taat kepada hukum yang merefleksikan
keadilan, menghormati hak-hak asasi manusia, dan yang selalu mengupayakan
perdamaian. “Gereja-gereja di Indonesia, yang mengikuti teladan Tuhan-Nya yang
sudah menjadi manusia bagi sesamanya (bnd. Kej.12:1-9; Luk.10:25-37), mengambil
bahagian penuh secara positif, kreatif, kritis, realistis dan transformatif
dalam semua kegiatan itu” ,*12 demikian rumusan itu.
Setelah
mengevaluasi apa yang telah dialami bangsa kita di dalam era Orde Baru di mana
cita-cita untuk memajukan masyarakat belum terwujud, PTPB mencatat tugas dan
panggilan gereja untuk berpartisipasi dan melayani, sebagai berikut:
[a] dari segi tanggungjawab
untuk mengelola, memelihara dan melestarikan ciptaan Allah
(bnd.Kej.1:26-28;Mzm.8);
[b] dari segi pemberitaan Injil,
untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang telah datang, telah berada
di antara kita dan sedang dinantikan kegenapannya dalam “langit yang baru dan
bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (bnd.2 Ptr.3:13)…
[c] dari segi tanggungjawab untuk
mengusahakan agar kehidupan masyarakat didasarkan atas keadilan dan
kesejahteraan bagi semua orang tanpa membedakan suku, ras, agama, budaya
sebagai wujud kasih Allah bagi dunia (bnd.Yer.22:3; Am.5:15-24).PTPB itu juga
menegaskan bahwa berpartisipasi dan melayani dalam negara Pancasila merupakan
pelaksanaan tugas panggilan yang bersumber dari Injil Yesus Kristus dan sebagai
pelaksanaan serta tanggungjawab bernegara. *13
Apakah tujuan gereja
berpartisipasi dan melayani? PTPB merumuskannya sebagai berikut: “Gereja-gereja
di Indonesia dengan berpedomann kepada Injil yang memberitakan bahwa Tuhan
menghendaki keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, kemanusiaan, kelestarian
alam bagi dunia dengan kedatangan kerajaan-Nya, berpartisipasi dan melayani,
untuk:
[a] mengamalkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan melawan segala
realitas yang hendak mengerdilkan kehidupan keagamaan, kepercayaan, spiritual,
dan etik
[b] mengamalkan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan melawan
segala realitas yang merendahkan martabat dan mempersempit hak-hak asasi
manusia.
[c] mengamalkan Sila Persatuan Indonesia dengan melawan segala
realitas yang dapat menimbulkan pertentangan dan ketegangan berdasarkan suku,
agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
[d] mengamalkan Sila Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan dengan
melawan segala realitas yang dapat membawa ke otoritarianisme, militerisme dan
totaliterisme.
[e] mengamalkan Sila Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
dengan berusaha menghilangkan jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta
melawan segala realitas yang merusak lingkungan hidup.
Rumusan itu
diakhiri dengan seruan kepada gereja-gereja untuk menunjukkan keteladanan bagi
masyarakat dan bangsa melalui pembaruan budi. *14 Yang disebutkan terakhir ini
mengingatkan kita kepada tema yang diharapkan diperhatikan bukan saja oleh
gereja-gereja tetapi juga oleh masyarakat Indonesia.
Memperhatikan
segala rumusan-rumusan ini jelas bahwa gereja-gereja memahami tugas diakonianya
sangat luas. Tugas itu tidak sekadar kharitatif, tetapi mencakupi hal-hal yang
merupakan keprihatinan bersama sebagai bangsa. Bahwa secara sangat eksplisit
sila-sila Pancasila dikemukakan, adalah petunjuk bahwa konteks masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah negara berdasarkan Pancasila. Dengan
ini juga mau dikatakan, bahwa gereja dan orang-orang Kristen Indonesia, di
dalam keprihatinannya melayani masyarakat tetap meyakini Pancasila sebagai
“rumah bersama” yang di dalamnya masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini
bisa hidup bersama-sama. Maka pelayanan diakonia gereja harus memperhatikan
kenyataan ini dengan sungguh-sungguh.
VII. Mulailah Dari Yang Bisa Dimulai
Ketika
pemahaman mengenai diakonia begitu rumit, dan konteks yang di dalamnya
pelayanan gereja dilakukan tidak kurang rumitnya, maka kecenderungan untuk
mendiamkannya sangat besar. Maka karena itu disarankan agar memulai saja dari
sesuatu yang “mudah” dilaksanakan. Jemaat masih sulit memahami apa yang disebut
diakonia transformatif? Lakukanlah diakonia kharitatif. Mau mencoba diakonia
transformatif, tetapi kurang “sensitif” dan beresiko? Mulailah dengan
memperhatikan persoalan lingkungan misalnya. Tentu saja kalau kita berbicara
mengenai “global warming” dengan memperhatikan semua pertemuan-pertemuan
internasional selama ini, mungkin masalahnya akan sangat rumit. Tetapi mengapa
tidak mulai dengan tindakan sederhana? Tidak membuang kantong plastik secara
sembarangan? Atau menanam pohon-pohon di halaman gereja? Semua tindakan-tindakan
sederhana ini akan mempunyai dampak besar di kemudian hari, di samping tentu
saja proses pembelajaran sedang berjalan. Anda merasa pengap dengan keadaan
politik di Tanah Air? Mungkin akan menjadi sensitif kalau anda menilai orang.
Tetapi lakukanlah pendidikan politik, di mana hak dan kewajiban warga negara
diperlihatkan dengan transparan. Kesulitan modal? Dan sulit meminjam dari bank?
GBKP telah memberi contoh dengan mendirikan “Bank Perkreditan Rakyat” yang
terbuka bagi umum. Sebuah daftar panjang bisa ditambahkan di sini.
Pendeknya,
gereja harus menjalankan tugas diakonianya sebab, sekali lagi, gereja tanpa
diakonia, ia bukan apa-apa. Bahkan ia kehilangan hak hidupnya sebagai gereja.
________
*) Disampaikan Dalam Semiloka Diakonia GBKP, 3-5 September 2008 di Kabanjahe, Sumut.
*) Disampaikan Dalam Semiloka Diakonia GBKP, 3-5 September 2008 di Kabanjahe, Sumut.
**) Ketua Umum PGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar