oleh : Andreas A Yewangoe
I. Pertanyaan Mendasar
Pertanyaan
mendasar yang bisa diajukan di sini adalah, benarkah gereja mempunyai peran
dalam pembangunan nasional? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan “ya”, maka
dengan sendirinya pertanyaan kedua menyusul, apa tantangan-tantangan yang
dihadapi? Tetapi sebelum semua pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, ada baiknya juga
kita bertanya, apakah memang ada yang disebut pembangunan nasional, lebih-lebih
di era Orde Reformasi ini? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting dikemukan,
guna kita menilai kembali apa yang telah dilakukan, bukan saja oleh gereja,
tetapi juga oleh negara pada masa ini.
II. Sekilas Tentang Orde Baru.
Di era Orde
Baru sangat jelas kita melihat adanya program-program pembangunan yang dikenal
dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Orde Baru di bawah Suharto
dengan jelas mengemukakan rencana-rencana ini sejak kekuasan dipegang tahun
1966. Tahapan-tahapan pembangunan lima
tahunan juga dirumuskan melalui GBHN oleh MPR, sedangkan Pemerintah
menjabarkannya lebih luas dan terinci. Pembangunan-pembangunan itu berjalan
dengan baik, setidak-tidaknya secara fisik kita melihat hasil-hasilnya
konkretnya. Begitu berhasilnya pembangunan itu sehingga dicanangkan apa yang
disebut “Tinggal Landas’, yang mengasumsikan bahwa dalam satu waktu tertentu
(sesudah 25 tahun pembangunan), Indonesia
akan menyamai, dan/atau setidak-tidaknya mendekati negara-negara maju di dalam
kemajuannya. Dengan demikian, kita tidak lagi dimasukkan dalam kelompok
”developing countries” tetapi sudah berada dalam “developed countries”. Kalau
kita jujur, kita sesungguhnya sedang menuju ke sana. Kita bahkan dijuluki calon “Singa Asia”
di bidang ekonomi.
Hakekat
pembangunan nasional pada waktu itu adalah memerangi keterbelakangan dan
kemiskinan bangsa. Bangsa ini harus diangkat dari berbagai keterpurukannya, dan
diletakkan lagi pada posisinya sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945,
Negara Kesejahteraan. Sebagaimana kita ketahui Orde Lama, di bawah Sukarno
telah mewariskan kepada kita keadaan kesulitan ekonomi yang parah. Bung Karno
yang adalah pemimpin yang disegani di Asia
bahkan di dunia, agaknya bukan seorang ekonom yang ulung. Atau mungkin lebih
tepat, beliau belum melihat persoalan ekonomi sebagai yang mendesak. Beliau
lebih mementingkan peranan Indonesia
sebagai pelopor di bidang politik dunia yang bercita-cita menghapuskan neo-kolonialisme
dan neo-imperialisme. Maka Bung Karno sangat sibuk menjalin apa yang disebut
“Poros Pyong Yang-Peking-Jakarta (dan berbagai poros lainnya) yang
ujung-ujungnya justru mengisolasi Indonesia dari dunia sekitarnya.
Politik anti imperialisme dan anti kolonialisme Bung Karno, kendati sangat baik
(dan memang benar!), namun cenderung menyebabkan negeri-negeri besar seperti
Eropa dan Amerika Serikat memusuhi Indonesia. The New Emerging Forces
(Nefos) harus berhadapan dengan The Old Established Forces (Oldefos), di mana
pada akhirnya Nefos akan menang. Itulah tatanan dunia baru. Apa yang waktu itu
disebut “Perang Dingin” cukup marak ikut menentukan posisi Indonesia di mata dunia. Kendati
secara doktrinal dan teoritis Indonesia
berada dalam negara-negara non blok, karena politik luar-negerinya yang
bebas-aktif (bahkan juga ikut mendirikan Gerakan Non-Blok!), namun di dalam
kenyataannya lebih berpihak kepada blok Timur (Sosialis). Kita masih ingat
seruan garang Bung Karno kepada Amerika Serikat, ”To hell with your aid!” Ini
adalah auman sangat berani pada waktu itu, dan sekaligus juga memupuk semangat
nasionalisme yang tinggi. Tetapi akibatnya makin memperparah keadaan ekonomi
kita. Bung Karno mencanangkan “politik berdikari” yang tidak cukup menolong
membangkitkan ekonomi kita. Inflasi 660%. Uang seribu rupiah dipotong hanya
menjadi satu rupiah.
Sementara itu
juga ketegangan-ketegangan politik di dalam negeri sebagai akibat politik
“jor-joran” di antara partai-partai politik marak. Kendati Bung Karno bertindak
sebagai “rekonsiliator” dan “mediator” dengan ide Nasakom (Nasionalis, Agama,
Komunis), sangat jelas bahwa kekuatan-kekuatan komunis mau menonjol sendiri,
dengan berbagai “provokasi”nya. Desas-desus mengenai kesakitan Bung Karno yang
serius, makin mengintensifkan persaingan-persaingan itu. Kalau Bung Karno
sampai meninggal, demikian diasumsikan, maka “Penyeimbang Kekuasaan” tidak ada
lagi. Akibatnya, kita telah tahu dari berbagai buku sejarah, kendati masih
perlu buku sejarah ditulis ulang. Singkat ceritera, peristiwa G30S terjadi yang
sekaligus merupakan pintu masuk bagi Orde Baru di bawah Suharto mengambil alih
kekuasan. Dengan segera Orde ini mencanangkan “Repelita” sebagaimana telah
disinggung tadi.
III. Gereja Dan Orde Baru
Bagaimanakah
sikap gereja-gereja (khususnya yang tergabung di dalam PGI/DGI) dalam situasi
yang baru ini? Tentu saja gereja-gereja tidak berdiam diri. Mereka juga mau
ikut serta dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang berkehendak membebaskan
masyarakat dari keterbelakangan itu. Dalam Sidang Lengkap (belakangan menjadi
Sidang Raya) VII DGI di Pematang Siantar pada tahun 1971, fokus perhatian
diarahkan lepada partisipasi gereja-gereja di dalam pembangunan nasional.
Gereja-gereja memahami tugasnya sebagai yang diutus Allah di dalam dunia Indonesia
yang sedang membangun. Itulah sebabnya dengan sengaja tema Sidang Raya itu
dirumuskan sebagai: “Diutus ke dalam dunia”, sedangkan subtemanya berbunyi:
“Tugas Kita Dalam Masyarakat Indonesia Yang Sedang Membangun”. Dalam SR ini
gereja-gereja menemukan bahwa sesungguhnya Injil adalah Berita Pembebasan,
sebagaimana secara jelas dikatakan dalam Lukas 4:18-19: “Roh Tuhan ada pada-Ku,
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan Tahun Rakhmat Tuhan
telah datang.”
Atas dasar ini
gereja-gereja secara aktif mengambil bahagian di dalam pembangunan sebagai
upaya pembebasan orang dari berbagai keterbelakangan. Injil adalah berita
pembebasan yang tidak boleh diabstraksikan dan dispiritualisasikan. Tentu saja
itu tidak berarti bahwa pembangunan yang dilakukan negara identik dengan yang
dilakukan gereja. Kepenuhan Kerajaan Allah tidak tergantung pada apakah negara
melakukan pembangunan atau tidak. Tetapi semua pembangunan yang dilakukan
negara mesti dinilai dari perspektif Kerajaan Allah, apakah sungguh-sungguh
mencerminkan keadilan dan pembebasan. Dengan ini pula gereja-gereja di
Indonesia mengubah paradigma kehadirannya dalam dunia. Kesalehan pietisme yang
agaknya agak dominan di dalam gereja-gereja di Indonesia diubah. Gereja-gereja
menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa mereka berpijak di atas bumi Indonesia.
Maka nasib bangsa ini adalah pula nasibnya, dan pengharapan bangsa ini adalah
pula pengharapannya. Dengan demikian, gereja juga memperlihatkan solidaritasnya
dengan bangsa ini. Namun solidaritas itu selalu ditempatkan di bawah terang
Kerajaan Allah.
Secara konkret
dan praktis, DGI/PGI pada waktu itu membentuk “Departemen Partisipasi Dalam
Pembangunan”. Di beberapa daerah/gereja dibangun “Rembug Dharma Cipta” (RDC)
sebagai “Pilot Project” bagi pembangunan. Motivator-motivator dididik (di
Cikembar) untuk memberi motivasi bagi jemaat-jemaat yang berpartisipasi dalam
pembangunan. “Berikan pancing, bukan ikan”, demikian slogan waktu itu, “apabila
anda mau melihat pembangunan yang berkelanjutan”. Tetapi juga ada penekanan
kepada membangun manusia pembangun. Intinya adalah, janganlah kita terjebak
dalam pembangunan material semata-mata yang cenderung membawa kepada
konsumerisme, materialisme, hedonisme, dan seterusnya. Sebaliknya bangunlah
manusia yang tegar dan tahan secara mental agar ia (mereka) sungguh-sungguh
dapat memahami dan menghormati makna pembangunan itu.
Dengan bekal-bekal ini gereja-gereja diserukan untuk menerapkannya. Diakonia tidak sekadar difahami secara kharitatif, tetapi transformatif. Artinya, diakonia yang merupakan tugas gereja itu tidak hanya sekadar memberi perhatian kepada korban-korban pembangunan, tetapi juga berusaha agar jangan sampai terjadi korban-korban. Ini berarti mengarahkan perhatian terhadap struktur masyarakat yang ada, yang cenderung juga bersifat menindas. Tentu saja tugas seperti ini tidak ringan. Tidak semudah itu juga gereja-gereja melakukan tugasnya. Suara “nabi” gereja, kalaupun berani disampaikan tidak dengan gampangnya diterima. Apalagi kalau gereja takut menyampaikannya.
Dengan bekal-bekal ini gereja-gereja diserukan untuk menerapkannya. Diakonia tidak sekadar difahami secara kharitatif, tetapi transformatif. Artinya, diakonia yang merupakan tugas gereja itu tidak hanya sekadar memberi perhatian kepada korban-korban pembangunan, tetapi juga berusaha agar jangan sampai terjadi korban-korban. Ini berarti mengarahkan perhatian terhadap struktur masyarakat yang ada, yang cenderung juga bersifat menindas. Tentu saja tugas seperti ini tidak ringan. Tidak semudah itu juga gereja-gereja melakukan tugasnya. Suara “nabi” gereja, kalaupun berani disampaikan tidak dengan gampangnya diterima. Apalagi kalau gereja takut menyampaikannya.
IV. Timbulnya Gerakan Reformasi
Apa yang
antara lain ditakutkan gereja justru terjadi di dalam sejarah Indonesia. Pembangunan nasional
yang mestinya membebaskan masyarakat dari berbagai kesulitannya justru telah
menjadi alat Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan yang penuh dengan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pembangunan juga makin lama makin menjadi
sebuah ideologi: pembangunan demi pembangunan. Banyak orang berbicara tentang
developmentalism, yang pada umumnya merupakan tipe di banyak negeri-negeri
sedang berkembang. Slogan “Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila”
yang pada intinya menyerukan agar kembali kepada jiwa Pancasila di dalam
melaksanakan pembangunan, yang diusulkan gereja dan kemudian diambil alih dalam
GBHN justru tidak mampu mencegah masyarakat terjerumus ke dalam keterpurukan.
Pencapaian-pencapaian pembangunan yang tadinya lumayan dihargai, justru menjadi
keropos. Seakan-akan Indonesia
telah membangun rumah di atas pasir. Keadaan ini kemudian dipicu oleh krisis
moneter, yang semula terjadi di Thailand
(krisis Bath)
tetapi lalu meluas ke mana-mana sejak 1997. Kendati Pemerintah berkali-kali
mengatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, ternyata keropos. “Adegan”
Presiden Suharto menandatangani kontrak baru dengan ditonton oleh Comdesus, fungsionaris
IMF merupakan gambaran yang sangat tepat (dan sekaligus menyedihkan!) tentang
ketidakmampuan kita menghadapi krisis itu. Kita seakan-akan dipermalukan di
hadapan dunia internasional. Peristiwa-peristiwa inilah yang memicu berbagai
unjuk rasa dipelopori mahasiswa menuntut Suharto turun. Maka pada 21 Mei 1998,
Suharto menyatakan diri turun dan diganti oleh B.J.Habibie yang merupakan
presiden transisi. Ia masih dianggap “clan” Suharto, kendati ketika kita
membaca catatan-catatannya sekitar pengalihan kekuasaan itu nampak bahwa ia
kurang disukai Suharto. Dalam masa pemerintahannya yang pendek itu Habibie
telah berhasil melakukan Pemilu, yang sebelumnya didahului dengan kebebasan
mendirikan partai-partai politik, kebebasan pers dan sebagainya. Pendeknya
sebuah eforia reformasi.
Apakah itu berarti bahwa dengan sendirinya Indonesia dibawa ke era yang penuh pengharapan, masih belum jelas. Begitu banyaknya partai politik misalnya (sekarang sudah 34!) makin membingungkan rakyat. Tidak jelas benar di mana perbedaan antara partai yang satu dengan partai lainnya. Kebebasan menyatakan pendapat melalui unjukrasa, misalnya tidak jarang berubah menjadi perusakan dan pamer kekerasan. Kebebasan pers menjadi sangat bebas, sehingga ada yang mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia hampir tidak punya batas lagi. Pendeknya laksana kuda liar yang baru lepas kendali. Dalam 10 tahun reformasi, kita sudah empat kali berganti presiden. SBY-JK yang dalam kampanyenya mempunyai slogan, “Bersama Kita Bisa”, sekarang diplesetkan menjadi “Bersama Kita Bisa Apa Ya?” Ini indikasi ketidakpuasan masyarakat atas berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kendati angka-angka resmi mengindikasikan kemiskinan berkurang, tetapi di dalam kenyataannya makin banyak orang miskin. Jumlahnya bertambah, tetapi juga terlihat ekstrim. Ada orang miskin yang membunuh diri, dan sebagainya karena tidak bisa melihat perpspektif hidup lagi. Harga BBM naik, kendati dapat difahami karena harga minyak bumi memang naik di dunia, toh tetap menimbulkan persoalan-persoalan baru. Ia memicu harga-harga naik. BLT kendati kelihatannya menolong orang miskin, tetapi sesungguhnya menjerumuskan orang kepada ketergantungan jenis baru. PLN menggilir pemadaman listrik. Ini tidak main-main, sebab dengan demikian para investor akan segan berinvestasi. Bagaimana bisa bekerja kalau listrik tidak stabil? Keamanan dalam negeri sudah mulai baik, kendati baru-baru ini ditemukan lagi di Palembang sekian banyak bom yang siap ledak. Untunglah polisi dapat menggulung itu semua dan menangkap para pelakunya. Konon mereka mempunyai kaitan dengan Jamiah Islamiyah dan Al-Qaedah. Mengapa agama selalu dipakai sebagai alat pemicu kebencian kepada sesama? Itulah pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Apakah itu berarti bahwa dengan sendirinya Indonesia dibawa ke era yang penuh pengharapan, masih belum jelas. Begitu banyaknya partai politik misalnya (sekarang sudah 34!) makin membingungkan rakyat. Tidak jelas benar di mana perbedaan antara partai yang satu dengan partai lainnya. Kebebasan menyatakan pendapat melalui unjukrasa, misalnya tidak jarang berubah menjadi perusakan dan pamer kekerasan. Kebebasan pers menjadi sangat bebas, sehingga ada yang mengatakan bahwa kebebasan pers di Indonesia hampir tidak punya batas lagi. Pendeknya laksana kuda liar yang baru lepas kendali. Dalam 10 tahun reformasi, kita sudah empat kali berganti presiden. SBY-JK yang dalam kampanyenya mempunyai slogan, “Bersama Kita Bisa”, sekarang diplesetkan menjadi “Bersama Kita Bisa Apa Ya?” Ini indikasi ketidakpuasan masyarakat atas berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Kendati angka-angka resmi mengindikasikan kemiskinan berkurang, tetapi di dalam kenyataannya makin banyak orang miskin. Jumlahnya bertambah, tetapi juga terlihat ekstrim. Ada orang miskin yang membunuh diri, dan sebagainya karena tidak bisa melihat perpspektif hidup lagi. Harga BBM naik, kendati dapat difahami karena harga minyak bumi memang naik di dunia, toh tetap menimbulkan persoalan-persoalan baru. Ia memicu harga-harga naik. BLT kendati kelihatannya menolong orang miskin, tetapi sesungguhnya menjerumuskan orang kepada ketergantungan jenis baru. PLN menggilir pemadaman listrik. Ini tidak main-main, sebab dengan demikian para investor akan segan berinvestasi. Bagaimana bisa bekerja kalau listrik tidak stabil? Keamanan dalam negeri sudah mulai baik, kendati baru-baru ini ditemukan lagi di Palembang sekian banyak bom yang siap ledak. Untunglah polisi dapat menggulung itu semua dan menangkap para pelakunya. Konon mereka mempunyai kaitan dengan Jamiah Islamiyah dan Al-Qaedah. Mengapa agama selalu dipakai sebagai alat pemicu kebencian kepada sesama? Itulah pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Dengan
kenyataan-kenyataan ini, lalu orang bertanya inikah civil society yang kita
kehendaki? Jangan lupa bahwa tujuan gerakan reformasi adalah mewujudkan sebuah
masyarakat berkeadaban (civil society) di Indonesia. Ciri-ciri masyarakat itu
antara lain, masyarakat menengahnya yang kuat, ada penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, taat kepada hukum yang berkeadilan, dewasa dalam bertindak,
independen dalam berpikir, dan sebagainya. Kalau tidak ada toleransi misalnya
terhadap mereka yang berpandangan lain, maka kita sedang berjalan mundur. Kita
makin jauh dari civil society yang kita cita-citakan itu.
V. Gereja Dan Gerakan Reformasi
Tentu
pertanyaannya adalah bagaimana sikap gereja terhadap gerakan reformasi?
Jawabannya adalah, gereja mendukung. Tentu saja ada “blaming” (menyayangkan)
terhadap gereja, bahwa gereja selalu terlambat dalam memberi respons. Tetapi
tidak apa-apa. Lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Sidang Raya
XIV PGI (2004) dengan jelas merumuskan subtemanya sebagai, ”Bersama-sama Dengan
Seluruh Elemen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Sipil yang Kuat dan Demokratis
Untuk Menegakkan Kebenaran, Hukum yang Berkeadilan, Serta Memelihara
Perdamaian”. Dengan ini gereja-gereja bertekad untuk ikut serta di dalam
membentuk masyarakat berkeadaban yang merupakan sebuah masyarakat baru Indonesia.
Tetapi hal itu hanya dapat dilakukan bersama-sama dengan saudara-saudara lain
sebangsa dan setanah air. Tidak bisa dilakukan hanya oleh gereja (dan orang
Kristen) saja. Masyarakat berkeadaban itu adalah sebuah masyarakat yang kuat,
tidak pertama-tama dalam arti fisik, tetapi dalam komitmennya untuk menerapkan
demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukanlah sekadar mengandalkan jumlah (kalau
mayoritas dengan sendirinya menang!), tetapi terutama nilai-nilai yang
terkandung di dalammya. Adakah demokrasi itu mengandung penghormatan kepada
hak-hak asasi manusia, mempunyai komitmen tinggi kepada penegakan hukum yang
berkeadilan, dan mengupayakan agar selalu damai yang ada di dalam masyarakat?
Kalau hanya sekadar ramai-ramai tidak tentu juntrungan, tentu bukan itulah
tujuan civil society.
Apa yang
dirumuskan itu dimaksudkan agar menjadi pedoman bagi gereja-gereja di dalam
memasuki situasi baru ini. Kita mengharapkan bahwa setiap gereja telah
menjabarkan semua yang dirumuskan oleh SR ini di dalam agenda gerejanya masing-masing.
Kita menyadari bahwa pergumulan untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban ini
tidak mudah. Waktu dibutuhkan. Tidak bisa diforsir. Tidak bisa hanya secara
instan.
Di dalam
kenyataan sekarang ini, kita berhadapan dengan keadaan yang makin menjauhkan
kita dari cita-cita civil society itu. Rencana pembangunan sebagaimana dikenal
dalam rezim Orde Baru tidak ada lagi. Sebaliknya daerah-daerah, atas dasar UU
Otonomi Daerah telah mempunyai rencana sendiri-sendiri, yang tidak jarang
berbenturan dengan daerah lainnya. Demokrasi masih belum difahami dan dihayati
dengan baik, seperti misalnya terjadi ketika seorang kandidat tidak mengakui
kekalahannya. Masyarakat kita cenderung tidak sabar terhadap mereka yang
berpendapat lain. Salah satu ciri masyarakat berkeadaban adalah kalau kita
mampu berbeda pendapat. “Saya berbeda pendapat dengan anda, tetapi kalau ada
yang tidak mengizinkan anda berbeda pendapat dengan saya, maka sayalah orang
pertama yang membela hak anda,” demikian antara lain dikatakan oleh seorang arif
bijaksana pada masa lampau. Belum lagi kita mengalami ancaman penyakit
HIV/AIDS, narkoba dan seterusnya yang makin membuat kita cemas.
VI. Indonesia di Tengah-tengah Globalisasi
Dengan
menyebutkan ancaman-ancaman tadi, maka secara tidak langsung kita telah
menyentuh persoalan globalisasi. Kita sekarang sudah sangat biasa dengan
istilah ini sehingga kita tidak sadar bahwa istilah ini pada mulanya
dipopulerkan di kalangan para ahli ekonomi. Alan Rugman misalnya
mendefenisikannya sebagai, “the activities of multinasional enterprises engaged
in foreign direct investement and the development of business networks to
create value across nasional borders.” Dari defenisi tersebut hal-hal berikut
dicatat: 1. adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahan-perusahan
bersifat multinasional; 2. kegiatan-kegiatan itu terikat dalam investasi di
luarnegeri yang bersifat langsung; 3. kegiatan-kegiatan bisnis itu diikat dalam
jejaring bisnis; 4. ada nilai-nilai yang diciptakan yang melampaui batas-batas
negara. Karena kacamata yang dipakai di sini adalah kacamata ekonomi, maka
banyak orang menilainya terlampau sempit. John Tomlison, seorang sosiolog
berpendapat bahwa globalisasi mestilah dipandang secara multi-dimensional. Ia
memahami globalisasi, “in terms of simultaneous, complex related process in the
realms of economy, politics, culture, technology and soforth…” Anthony Giddens,
seorang direktur dari London School of Economics berargumentasi bahwa dengan
globalisasi relasi-relasi sosial tidak lagi bersifat lokal, tetapi meluas
melampaui waktu dan ruang. “A common global capitalists culture is alleged to
be spread by the power of multinational enterprises.” Terjadilah apa yang
disebut “deterritorialization” kebudayaan sebagai akibat dari hibridasi
kebudayaan. Maka menurut Giddens, “globalization is political, technical and
cultural, as well as economic.”
Dengan sengaja
saya menampilkan defenisi-defenisi tentang globalisasi di sini agar kita
menyadari bahwa gejala ini telah menguasai umat manusia hingga sekarang dan
difahami juga secara sangat luas. Memang ada yang mengatakan, bahwa apa yang
disebut globalisasi bukanlah hal baru di dalam sejarah manusia. Bukankah ketika
Columbus
mengelilingi dunia, proses itu telah berlangsung? Benar, tetapi sekarang ini
oleh majunya teknik komunikasi, proses itu makin dipercepat. SMS yang dikirim
melalaui HP telah bisa mencapai seluruh dunia hanya dalam tempo beberapa detik.
Beberapa waktu lalu kita semua menonton pertandingan piala Eropa dalam waktu
bersamaan., kendati jam berbeda. Pendeknya segala sesuatu telah mengglobal.
Banyak hal positif dari globalisasi itu. Tetapi tidak kurang juga hal-hal
negatif. Terorisme misalnya sudah sangat mengglobal berkat komunikasi yang maju
itu. Bahkan solidaritas di antara para teroris dapat dipupuk dan disuburkan
melalui proses itu.
Menghadapi
proses ini, maka apa yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari apa yang terjadi di bagian dunia lain. Indonesia hanyalah merupakan salah
satu titik di dalam ribuan titik-titik lainnya di dalam proses globalisasi.
Bagaimana
dengan gereja-gereja? Dari semula gereja-gereja telah berbicara tentang
oikoumene. Ini berasal dari dua patah kata Yunani, oikos=rumah; dan
menein=mendiami. Jadi oikoumene berarti kita sebagai umat manusia mendiami
rumah yang sama yaitu yang disebut bumi. Itu berarti kita semua
bertanggungjawab agar bumi kita ini menjadi bumi yang layak didiami. Maka
gerakan oikoumene adalah gerakan bersama dengan seluruh umat manusia agar bumi
kita layak didiami. Oikoumene juga, dengan demikian merupakan koreksi terhadap
proses globalisasi yang tidak terkendali.
Selama dalam
dunia ini masih terdapat kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, masih
diprakekkaannya secara luas ketidakadilan, tidak ditegakkannya hukum yang
berkeadilan, tidak dihormatinya hak-hak asasi manusia, dan seterusnya, maka
selama itu juga bumi adalah bumi yang belum layak didiami. Kita, dengan
demikian harus bersama-sama memperjuangkan agar bumi layak didiami. Di sinilah
kita melihat bahwa tugas dan tanggungjawab gereja tidak bisa dihindari dan
diingkari.
VII. Jadi Adakah Peranan Gereja?
Dari
uraian-uraian tadi sangat jelas bahwa peran gereja ada. Namun sangat tergantung
dari kesadaran gereja sendiri apakah ia menyadari bahwa ia mempunyai peranan,
dan bagaimana peranan itu dijalani. Kalau gereja diam saja, maka ia tidak
menyadari perannya. Gereja semacam ini akan menjadi gereja introvert yang hanya
berorientasi kepada dirinya sendiri. Dalam perkembangan yang begitu cepat
dewasa ini, gereja seperti ini lambat atau cepat akan hilang. Maka tantangan
yang dihadapi gereja adalah bagaimana ia mampu dan peka untuk membaca berbagai
perkembangan-perkembangan di dalam masyarakatnya. Tanpa kemampuan ini gereja
menjadi lumpuh dan tidak berdaya. “Ia seperti garam yang menjadi tawar dan karena
itu dibuang dan dipijak-pijak orang” (Mt.5:13).
_____________
*) Disampaikan Dalam Seminar Memperingati 4 Tahun Tertembaknya Pdt Susianti Tinulele S.Th. oleh GKST di Palu-Sulawesi Tengah.
**) Ketua Umum PGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar