Rabu, 23 November 2011

Diakonia Sebagai Tugas Gereja

Andreas A. Yewangoe


I. Diakonia Sebagai Salah Satu Tugas Gereja
Pada umumnya gereja-gereja memandang diakonia sebagai salah satu tugas gereja, di samping koinonia (persekutuan) dan marturia (kesaksian). *1 Kadang-kadang ada yang menambahkan oikonomia, yang mempunyai sangkut-pautnya dengan oikomene. *2 Istilah diakonia sendiri dijabarkan dari kata diakonos yang prototipenya dilihat pada pelayanan yang dilakukan oleh Stefanus dan kawan-kawan (Kis. 6:1-6). *3 Menurut kisah ini ada ketidakpuasan di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani karena diabaikan pembagian kepada janda-janda mereka di dalam pelayanan sehari-hari. Menanggapi hal itu, rasul-rasul mengangkat tujuh orang, “yang terkenal baik, dan yang penuh dengan Roh dan hikmat”.
Dari penjelasan singkat ini kita mengetahui bahwa mereka dithabiskan untuk melaksanakan tugas-tugas khusus. Sebelum mereka melaksanakan tugas khusus ini, para rasul-rasul “berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka”. Tugas mereka adalah untuk membantu para rasul-rasul, khususnya yang mempunyai sangkut-pautnya dengan bantuan-bantuan bersifat material. Khusus mengenai Stefanus, kelihatannya ia juga menjalankan pelayanan pemberitaan Firman. Bahwa ia merupakan martir pertama membuktikan bahwa tugas diakonos bukannya tugas sepele.
Kelihatannya di dalam gereja mula-mula itu tugas-tugas para diakonos beraneka ragam. Mereka membantu para imam atau uskup, baik di dalam penyelenggaraan liturgi dan pelayanan pastoral, maupun dalam administrasi jemaat. Kenyataan ini juga memperlihatkan bahwa agaknya para diakonos tidak mempunyai wewenang untuk sendiri melaksanakan tugas-tugas itu. *4
Menurut para ahli, istilah “diakonat” sendiri tidak terlalu jelas maknanya. Istilah yang dipakai di dalam PB, diakoneo mempunyai berbagai arti. Kata kerja, diakonein berarti, “melayani di meja makan”. Tetapi juga berarti, “memperhatikan agar persediaan mencukupi”. Selanjutnya diartikan sebagai, “melayani” saja. Dapat difahami bahwa diakonos sebagaimana disinggung oleh PB, berarti melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan tugas-tugas yang diperluas, yaitu baik melayani di meja perjamuan dan juga tugas-tugas sosial lainnya. Hal ini terlihat misalnya dalam I Kor. 11:20-22 yang juga mempunyai kaitan dengan Kis. 2:44-46.

II. Diakonia Tugas Seluruh Jemaat
Sebagaimana telah dikemukakan, diakonia adalah jabaran dari tugas-tugas gereja yang (seolah-olah) direpresentasikan oleh para diakonos. Tetapi itu tidak berarti bahwa hanya para diakonoslah pelaku tugas-tugas itu. Atau bahwa para diakonos melakukannya berdasarkan tanggungjawab mereka sendiri. Sesungguhnya gerejalah yang bertanggungjawab. Maka gereja sebagai suatu keseluruhan dan kesatuan justru melaknakan tugas diakonia. Ini juga mau menegaskan bahwa gereja tidak bisa difahami keberadaannya tanpa diakonia. Prof. Dr. H. Berkhof, mantan Guru Besar Teologi pada Universitas Leiden (Negeri Belanda) , *5 menegaskan bahwa diakonia adalah yang memperantarai Firman Allah yang menyelamatkan itu, yang ditujukan kepada manusia. Dengan demikian Firman itu tidak hanya firman yang kosong, melainkan firman dan perbuatan sekaligus. Berkhof mengingatkan bahwa di dalam bahasa Ibrani, istilah dabar sekaligus berarti firman dan perbuatan . *6 Sebagai demikian, keselamatan yang diberitakan kepada kita bukan sekadar wacana, tetapi suatu kekuatan yang memperharui. Maka khotbah lebih dari sekadar kata-kata, dan persekutuan meja (boleh dibaca: Perjamuan Kudus) lebih dari sekadar simbol. Tetapi sekaligus juga harus dikatakan bahwa kekuatan yang memperbaharui ini mempunyai lebih dimensi (matra) ketimbang kata-kata dan gambaran-gambaran yang kita berikan. Terlihat dengan jelas juga, bahwa keselamatan tidak hanya mengenai hati, tetapi juga seluruh bidang kehidupan. Keselamatan bersifat total dan komprehensip.

III. Apakah Keselamatan?
Berhubung dengan pernyataan bahwa keselamatan bersifat total, maka pertanyaan mendasar yang diajukan adalah, apakah sesungguhnya keselamatan itu? Berkhof menjawab, bahwa keselamatan adalah jawaban terhadap keterasingan berganda dari manusia, yaitu keterasingan terhadap Allah dan keterasingan terhadap dirinya sendiri. Keterasingan terhadap Allah disifatkan sebagai kesalahan (dosa), sedangkan keterasingan terhadap dirinya sendiri nampak dalam kemalangan dan kecelakaannya. Ketika Kristus datang, yang juga berarti tibanya Kerajaan Allah itu dan sekaligus Roh Kudus mengambil bagian di dalamnya, maka mestilah jelas juga keselamatan (penyelamatan) dari dosa dan kemalangan/kecelakaan dalam bentuk-bentuk konkret. Kalau tidak, maka keselamatan itu belumlah menjadi kenyataan. Diakonia adalah bentuk kepengentaraan keselamatan ini, kendati tentu saja tidak bisa diidentikkan dengan keselamatan itu sendiri. Namun demikian sangat jelas bahwa karya Allah melalui pengalaman-pengalaman Israel, maupun di dalam Yesus Kristus, selalu mempunyai dimensi-dimensi historis dan horizontal. Dimensi-dimensi itu terlihat dalam peristiwa-peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir, pembebasan dari berbagai situasi bahaya yang sering juga merupakan kesalahan Israel sendiri, pada akhirnya dimahkotai dengan pembebasan dari penawanan Babilonia. Belakangan di dalam lingkungan Israel sendiri dimensi pembebasan ini disingkapkan melalui perhatian serius kepada para janda dan anak yatim piatu, orang-orang miskin dan orang-orang asing. Demikian juga melalui hidup dan pekerjaan Yesus kita melihat bahwa Beliau tidak sekadar berkhotbah, melainkan juga menyelenggarakan makan bersama dengan kaum pemungut cukai dan orang-orang berdosa, dan menyembuhkan yang sakit dan yang dirasuk setan. Dengan demikian Beliau menerjemahkan pembebasan dari dosa dan kemalangan/kecelakaan di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Kerajaan Allah semakin dekat. Roh Kudus melanjutkan pekerjaan ini di dalam jemaat. Dari kitab Kisah Rasul kita memperoleh kesan bahwa jemaat mula-mula itu sangat memperhatikan agar tidak boleh ada seorangpun yang berkekurangan. Semua ini memperlihatkan bahwa diakonia adalah tugas gereja secara institusional. Kepada jemaat terus-menerus diinsyafkan bahwa pelayanan diakonia bukanlah suatu pekerjaan fakultatif belaka, tetapi adalah wujud keselamatan di dalam segi-seginya yang material, sosial, politik dan universal. *7

IV. Diakonia Didasarkan Atas Kasih Kristus
Kasih Kristus tidak mengenal batas-batas apapun: suku, agama, ras, etnis, dan sebagainya. Kasih itu melampaui segala batas-batas yang ada. Itu berarti bahwa pelaksanaan diakonia juga tidak dibatasi pada kelompok tertentu saja. Di mana saja kemalangan/kecelakaan manusia terdapat, diakonia mesti dijalankan. Gampang mengucapkan prinsip ini, tetapi tidak selalu mudah menerapkannya. Ketika Mother Theresa memulai kegiatan-kegiatannya di India untuk menolong orang-orang yang selama ini dinafikan masyarakat (the untouchable), ia dicurigai seakan-akan mau mengkatolikkan India. Atau mau merusak “tatanan” masyarakat yang secara rapih telah diatur dalam pembagian kasta-kasta. Namun dengan ketekunan tanpa batas, ia pada akhirnya dapat memenangkan kepercayaan itu. Dalam suasana masyarakat majemuk seperti Indonesia misalnya, kecurigaan di dalam melaksanakan diakonia tetap ada. Isu kristenisasi tetap marak, lebih-lebih lagi dewasa ini. Bagaimana memenangkan kepercayaan masyarakat (yang dilayani), sangat tergantung dari kemampuan kita memahami tugas diakonia bukan sebagai “yang ditaklukkan” di bawah tugas pemberitaan, tetapi sebagai pemberitaan itu sendiri. Maka ukurannya adalah apakah benar-benar diakonia mengungkapkan pembebasan sebagaimana dikemukakan dalam Lukas 4:18-19; “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

V. Diakonia Kharitatif atau Transformatif?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak jarang muncul dalam sepuluh-duapuluh tahun terakhir ini. Diakonia kharitatif adalah diakonia yang merefleksikan belaskasih Allah kepada orang-orang yang menderita. Konon gereja-gereja telah melaksanakan hal itu. Dalam setiap menjelang Natal atau hari-hari raya gerejawi lainnya, biasanya sumbangan-sumbangan diberikan kepada para janda dan anak-anak yatim-piatu. Demikian juga apabila ada malapetaka menimpa masyarakat, jemaat-jemaat kita dihimbau bahkan diminta untuk memberikan sumbangan-sumbangannya. Semua ini tidak salah. Hanya saja belum cukup, demikian pandangan orang. Harus ada diakonia yang bersifat transformatif. Artinya diakonia tidak hanya memperlihatkan belaskasihan kepada para korban, tetapi mencegah agar jangan sampai terjadi korban-korban baru. Berbicara tentang hal ini, mau tidak mau mengarahkan perhatian kita kepada suatu struktur sebuah masyarakat yang tidak adil. Di Amerika Laten, pada tahun-tahun 70-an marak sekali apa yang disebut teologi-teologi pembebasan sebagai reaksi terhadap masyarakat yang dikuasai oleh “the oppressor-oppressed axis”. *8
Bagaimana meniadakan struktur tidak adil ini bukan perkara mudah. Mungkin juga sangat besar, sehingga hampir tidak mungkin merealisasikannya. Mampukah gereja mengekpresikan dan mengupayakan keadilan di tengah-tengah ketidakdilan global yang dipelopori Amerika Serikat misalnya? Bagaimana kalau gereja sendiri ikut larut di dalam ketidakadilan global itu, seraya menikmati hasil-hasilnya, sebagaimana secara telanjang direfleksikan dalam teologi-teologi sukses? Di Filipina misalnya, sebuah negeri yang sangat dipengaruhi teologi pembebasan Amerika Laten, marak pendapat di kalangan para teolog pembebasan, bahwa perumpamaan mengenai seorang Samaria yang murah hatinya harus ditafsir ulang. Sebagaimana kita ketahui, percakapan Yesus dengan para pencobanya pada hakekatnya hendak menegaskan siapa sesungguhnya sesama manusia dari si korban itu (orang yang dirampok perampok!). Tafsiran itu tidak salah. Hanya saja, katanya apa yang dilakukan si orang Samaria itu masih bersifat kharitatif. Ia hanya memperlihatkan belaskasihan kepada si korban. Sesungguhnya ada yang lebih harus dibuat, yaitu mencegah agar jangan sampai perampokan terjadi. Hal itu berarti mengubah struktur masyarakat yang tidak adil menjadi adil.
Tentu saja pekerjaan ini tidak mudah. Berkhof menegaskan bahwa guna melakukan tugas seperti itu harus ada sikap kritis luar biasa terhadap masyarakat yang di dalamnya kita hidup. *9 Ketika Mother Theresa ditanyakan persoalan ini, ia menyatakan bahwa tugasnya adalah menolong para korban. Untuk mengubah masyarakat, biarlah orang lain melakukannya. Rupanya Mother Theresa menyadari keterbatasannya dibanding misalnya dengan pemegang kekuasaan yang dapat saja memaksakan kehendaknya. Tentu saja ada jalan lain di dalam upaya-upaya mengubah struktur masyarakat yang bersifat menindas, misalnya dengan melakukan penyadaran (conscientisation) terhadap golongan masyarakat yang selama ini termajinalkan. Tetapi itupun belum merupakan jaminan bagi adanya perubahan apabila kekuatan dari struktur yang menindas begitu kuat. Tentu saja sebagai gereja kita tidak boleh berputus asa menyampaikan suara-suara kenabian kepada para penguasa (dan kepada bangsa pada umumnya). Hal itu harus dilakukan terus-menerus, kendati pada akhirnya bisa juga tidak lebih dari tetesan-tetesan air di atas padang gurun yang kering kerontang. Namun ada pula contoh bahwa suara gerejapun bisa didengar seperti dalam peristiwa apartheid di Afrika Selatan di masa-masa pemerintahan rezim minoritas kulit putih. Tekanan-tekan dari pihak luar juga dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Pada akahirnya memang dibutuhkan baik diakonia kharitatif maupun transformatif. Di mana diakonia transformatif belum bisa direalisasikan, sebaiknya gereja menjalankan diakonia kharitatif. Jangan sampai hanya karena mencita-citakan sebuah diakonia transformatif, lalu tugas gereja untuk memberi perhatian terhadap korban-korban diabaikan.

VI. PGI ( dan Gereja-gereja) dan Diakonia
PGI (dan gereja-gereja) merumuskan pemahaman diakonianya dalam dokumen “Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” (PTPB) yang merupakan bagian dari “Dokumen Keesaan Gereja” (DKG). Selain itu juga dirumuskan dalam dokumen “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK), par.20 .*10 Dasar pemikirannya adalah pemahaman gereja terhadap Injil sebagai berita pembebasan sebagaimana dirumuskan dalam Sidang Lengkap (belakangan bernama Sidang Raya) VII Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) di Pematang Siantar (1971). Dokumen PTPB diterima di dalam Sidang Raya di Ambon (1984), pada saat mana DGI berubah menjadi PGI. Dokumen itu telah menjadi pedoman bagi gereja-gereja untuk merumuskan program-program kerjanya masing-masing. Setidak-tidaknya diharapkan demikian, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua gereja-gereja melaksanakan itu. PTPB sebagai salah satu dokumen di dalam DKG diperbaharui setiap lima tahun dengan memperhatikan tema dan subtema Sidang Raya terakhir. Untuk tahun 2004-2009, SR memilih temanya: “Berubahlah Oleh Pembaruan Budimu..” (Rm.12:2b), sedangkan subtemanya berbunyi: “Bersama-sama Dengan Seluruh Elemen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Sipil Yang Kuat Dan Demokratis Untuk Menegakkan Kebenaran, Hukum Yang Berkeadilan, Serta Memelihara Perdamaian.”
Dibimbing oleh tema dan subtema ini, gereja-gereja merumuskan keprihatinan diakonisnya sebagai “berpartisiasi dan melayani dalam era reformasi”. *11 Yang dimaksud dengan era reformasi adalah era ketika bangsa Indonesia melepaskan diri dari dominasi Orde Baru yang otoriter, penuh dengan KKN, dan memasuki satu era yang diharapkan dapat mewujudkan sebuah masyarakat berkeadaban (civil society). Masyarakat itu adalah sebuah masyarakat yang dewasa, yang taat kepada hukum yang merefleksikan keadilan, menghormati hak-hak asasi manusia, dan yang selalu mengupayakan perdamaian. “Gereja-gereja di Indonesia, yang mengikuti teladan Tuhan-Nya yang sudah menjadi manusia bagi sesamanya (bnd. Kej.12:1-9; Luk.10:25-37), mengambil bahagian penuh secara positif, kreatif, kritis, realistis dan transformatif dalam semua kegiatan itu” ,*12 demikian rumusan itu.
Setelah mengevaluasi apa yang telah dialami bangsa kita di dalam era Orde Baru di mana cita-cita untuk memajukan masyarakat belum terwujud, PTPB mencatat tugas dan panggilan gereja untuk berpartisipasi dan melayani, sebagai berikut:
[a] dari segi tanggungjawab untuk mengelola, memelihara dan melestarikan ciptaan Allah (bnd.Kej.1:26-28;Mzm.8);
[b] dari segi pemberitaan Injil, untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang telah datang, telah berada di antara kita dan sedang dinantikan kegenapannya dalam “langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (bnd.2 Ptr.3:13)…
[c] dari segi tanggungjawab untuk mengusahakan agar kehidupan masyarakat didasarkan atas keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang tanpa membedakan suku, ras, agama, budaya sebagai wujud kasih Allah bagi dunia (bnd.Yer.22:3; Am.5:15-24).PTPB itu juga menegaskan bahwa berpartisipasi dan melayani dalam negara Pancasila merupakan pelaksanaan tugas panggilan yang bersumber dari Injil Yesus Kristus dan sebagai pelaksanaan serta tanggungjawab bernegara. *13
Apakah tujuan gereja berpartisipasi dan melayani? PTPB merumuskannya sebagai berikut: “Gereja-gereja di Indonesia dengan berpedomann kepada Injil yang memberitakan bahwa Tuhan menghendaki keadilan, kesejahteraan, persaudaraan, kemanusiaan, kelestarian alam bagi dunia dengan kedatangan kerajaan-Nya, berpartisipasi dan melayani, untuk:
[a] mengamalkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan melawan segala realitas yang hendak mengerdilkan kehidupan keagamaan, kepercayaan, spiritual, dan etik
[b] mengamalkan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dengan melawan segala realitas yang merendahkan martabat dan mempersempit hak-hak asasi manusia.
[c] mengamalkan Sila Persatuan Indonesia dengan melawan segala realitas yang dapat menimbulkan pertentangan dan ketegangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
[d] mengamalkan Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan dengan melawan segala realitas yang dapat membawa ke otoritarianisme, militerisme dan totaliterisme.
[e]  mengamalkan Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan berusaha menghilangkan jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta melawan segala realitas yang merusak lingkungan hidup.
Rumusan itu diakhiri dengan seruan kepada gereja-gereja untuk menunjukkan keteladanan bagi masyarakat dan bangsa melalui pembaruan budi. *14 Yang disebutkan terakhir ini mengingatkan kita kepada tema yang diharapkan diperhatikan bukan saja oleh gereja-gereja tetapi juga oleh masyarakat Indonesia.
Memperhatikan segala rumusan-rumusan ini jelas bahwa gereja-gereja memahami tugas diakonianya sangat luas. Tugas itu tidak sekadar kharitatif, tetapi mencakupi hal-hal yang merupakan keprihatinan bersama sebagai bangsa. Bahwa secara sangat eksplisit sila-sila Pancasila dikemukakan, adalah petunjuk bahwa konteks masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah negara berdasarkan Pancasila. Dengan ini juga mau dikatakan, bahwa gereja dan orang-orang Kristen Indonesia, di dalam keprihatinannya melayani masyarakat tetap meyakini Pancasila sebagai “rumah bersama” yang di dalamnya masyarakat Indonesia yang sangat majemuk ini bisa hidup bersama-sama. Maka pelayanan diakonia gereja harus memperhatikan kenyataan ini dengan sungguh-sungguh.

VII. Mulailah Dari Yang Bisa Dimulai
Ketika pemahaman mengenai diakonia begitu rumit, dan konteks yang di dalamnya pelayanan gereja dilakukan tidak kurang rumitnya, maka kecenderungan untuk mendiamkannya sangat besar. Maka karena itu disarankan agar memulai saja dari sesuatu yang “mudah” dilaksanakan. Jemaat masih sulit memahami apa yang disebut diakonia transformatif? Lakukanlah diakonia kharitatif. Mau mencoba diakonia transformatif, tetapi kurang “sensitif” dan beresiko? Mulailah dengan memperhatikan persoalan lingkungan misalnya. Tentu saja kalau kita berbicara mengenai “global warming” dengan memperhatikan semua pertemuan-pertemuan internasional selama ini, mungkin masalahnya akan sangat rumit. Tetapi mengapa tidak mulai dengan tindakan sederhana? Tidak membuang kantong plastik secara sembarangan? Atau menanam pohon-pohon di halaman gereja? Semua tindakan-tindakan sederhana ini akan mempunyai dampak besar di kemudian hari, di samping tentu saja proses pembelajaran sedang berjalan. Anda merasa pengap dengan keadaan politik di Tanah Air? Mungkin akan menjadi sensitif kalau anda menilai orang. Tetapi lakukanlah pendidikan politik, di mana hak dan kewajiban warga negara diperlihatkan dengan transparan. Kesulitan modal? Dan sulit meminjam dari bank? GBKP telah memberi contoh dengan mendirikan “Bank Perkreditan Rakyat” yang terbuka bagi umum. Sebuah daftar panjang bisa ditambahkan di sini.
Pendeknya, gereja harus menjalankan tugas diakonianya sebab, sekali lagi, gereja tanpa diakonia, ia bukan apa-apa. Bahkan ia kehilangan hak hidupnya sebagai gereja.
________
*) Disampaikan Dalam Semiloka Diakonia GBKP, 3-5 September 2008 di Kabanjahe, Sumut.
**) Ketua Umum PGI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Popular Posts

Kategori

Pengikut