Munculnya eutanasia sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Seiring kemajuan IPTEK itu sendiri,
muncullah cara-cara baru di dalam menangani persoalan hidup manusia itu sendiri,
khususnya di bidang kesehatan, dimana sebelumnya belum pernah dikenal. Harus
kita sadari bahwa kemajuan IPTEK memiliki keterbatasan. Di satu pihak, Kemajuan
IPTEK memang berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan hidup, tetapi di lain
pihak, menimbulkan masalah baru bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata
lain terbuka peluang menjadi mengabaikan nilai kemanusiaan atau hakekat hidup
mansuia itu sendiri.
Untuk membahas
eutanasia itu sendiri harus kita lihat dalam konteks kemajuan IPTEK. Eutanasia
berasal dari bahasa Yunani yaitu EU –
THANATOS. Eu artinya baik tanpa derita, dan Thanatos artinya mati. Euthanatos (kata sifat) artinya mati dengan
mudah. Para ahli banyak memberi pengertian
dari eutanasia itu sendiri, misalnya Piet Go O. Carm, Pinggodiggo, Wismadi
Wahono S, dan J. Wunderli. Dalam pendahuluan ini, kami coba mengutip pendapat
Wismady Wahono S dan J. Wunderli, untuk menghantarkan kita akan arti dari eutanasia
itu, selanjutnya untuk melihat persoalan-persoalan yang terkandung dalam
tindakan tersebut.
Wismady Wahono S. mengatakan bahwa eutanasia
adalah;
“Pemahaman yang mencakup segala usaha
yang tertuju kepada matinya seseorang pasien secara tenang, damai dan tanpa
rasa sakit. Beliau mengemukakan 4 (empat) macam eutanasia. Pertama, pemberian penjelasan-penjelasan jasmaniah dan rohaniah,
khususnya kepada pasien menjelang saat kematiannya, tanpa usaha memperpendek
hidupnya. Kedua, menolong si pasien
dengan kemungkinan memperpendek hidup. Ketiga,
memberikan penyebab kematian, dengan atau tanpa permintaan sipasien, misalnya
pada pasien yang mengalami penderitaan yang tak tertahankan. Keempat, pembinasaan terhadap hidup yang
dianggab ‘tidak ada manfaatnya’ lagi” (Vokatio Dei, 1990: 46).
J. Wunderli juga membedakan 4 (empat)
arti eutanasia;
“Pertama,
eutanasia murni, yaitu usaha untuk memperringan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Dalam hal ini termasuk semua usaha perawatan dan
pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan ‘baik’.Eutanasia macam ini
tidak menimbulkan masalah etis dan moral. Kedua,
eutanasia Pasif, yaitu kalau tidak dipergunakan teknik kedokteran yang
sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan. Ketiga, eutanasia Aktif (mercy killing), yaitu proses kematian
diperringan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Keempat, eutanasia tidak langsung, yaitu
usaha untuk memperringan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali
meninggal dengan lebih cepat. Dalam hal ini termasuk pemberian segala macam
obat narkotika, hipnotika dan analgetika yang dapat memperpendek kehidupan”,
(J. winderli 1974: 199).
Dari
pemahaman eutanasia di atas, kita dapat melihat beberapa persoalan yang
terkandung dalam tindakan tersebut. Berikut ini kami coba daftarkan beberapa
persoalan yang perlu kita sikapi sebagai orang Kristen;
- Bukankah hanya Allah yang berhak atas hidup manusia itu sendiri?. Jika demikian halnya ilmu kedokteran tersebut sudah terlalu jauh mencampuri otoritas Allah itu sendiri.
- Pelaksaan eutanasia atas pertimbangan permintaan si pasien karena tidak tertahankan lagi rasa sakit yang diderita, bukankah itu termasuk kepada pembunuhan yang melangar hukum taurat ke-6? Pelaksanaan eutanasia atas permintaan sipasien bukanlah legitimasi yang dapat dibenarkan.
- Pembinasaan terhadap hidup yang dianggap ‘tidak ada manfaatnya’ lagi. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Tidak ada hidup ‘yang tidak ada manfaatnya’. Manfaat hidup yang sesungguhnya harus kita lihat dalam korelasinya dengan penciptanya bukan dalam hal hubungannya dengan penyakit yang diderita ataupun dalam hubungannya dengan pihak keluarga yang menganggabnya tidak berarti lagi.
- Sekalipun
penyakit seseorang sudah divonis oleh ilmu kedokteran tidak bisa lagi
disembuhkan, dalam hal inipun usaha-usaha eutanasia tidak dapat ditolelir,
karena pemikiran tersebut menutup peluang terhadap muzizat Tuhan untuk
bekerja.
Istilah eutanasia
itu sendiri ternyata mengandung banyak pengertian. Piet Go O. Carm (1989:6) menyimpulkan pengertian eutanasia itu
sebagai berikut;
a. Arti
asli atau etimologis; kematian tenang
b. Arti
medis; tindakan medis untuk meringankan penderitaan, juga dengan bahaya
memperpendek hidup.
c. Arti
lebih sempit; mercy killing, mematikan karena belaskasihan, entah untuk
mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau
orang sakit tak tersembuhkan agar jangan hidup yang dianggab tak bahagia itu
diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Selanjutnya,
Fred Ameln merumuskan pengertian eutanasia
itu sebagai berikut; “Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seseorang pasien
atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien. Dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”, (Vocatio
Dei, 1990: 5).
b.
Pengertian
Eutanasia Dalam Dokumen-Dokumen Gereja
Dokumen
terlengkap dan terbaru mengenai eutanasia ialah Declaratio de eutanasia Sacrae Conggregationis pro Doctrina Fidei 5
Mei 1980 yang berbeda dengan banyak dokumen Gereja mendapat sambutan sangat
positip dari semua kalangan.
Secara
etimologis eutanasia berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat.
Dewasa ini orang tidak lagi memperhatikan arti asli ini, melainkan terarah pada
campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau
orang yang berada dalam sakratul maut, kadang-kadang bahkan disertai bahaya
mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti
yang lebih sempit karena belaskasihan dengan maksud untuk sama sekali
mengakhiri penderitaan yang luar biasa atau untuk tidak memperpanjang
kehidupan.
c.
Pengertian
eutanasia dalam Teologi Moral
Teologi moral
sebagai ilmu memiliki aparat yang lebih rinci daripada dokumen gereja dan jauh
lebih bebas untuk menyusun hipotesa-hipotesa dalam menanggapi perkembangan
terutama yang berasal dari ilmu dan teknologi kedokteran yang menimbulkan
masalah baru. Perlu disadari bahwa atribut-atribut direct – indirect dan aktif
- pasif tak selalu dipakai dalam arti yang sama dengan akibat keracunan dalam
penilaiannya. Piet Go O. Carm (1989:8)
memahami eutanasia dari teologi moral hendaknya melihat dari 4 (empat) sudut
yaitu;
a.
Dari sudut bentuk/ cara: AKTIF, berarti
mengambil keputusan untuk; “melaksanakan tindakan misalnya terapi tertentu
seperti memakai life-supporting system
atau life saving treatment atau; melanjutkan terapi”. PASIF, berarti memutuskan
untuk tidak mengambil tindakan, misalnya terapi tertentu atau; tidak
melanjutkan tindakan tertentu, dengan kata lain, menghentikan tindakan yang
telah dimulai dan sedang berlangsung.
b.
Dari sudut maksud (voluntarium). Untuk penilain
moral, sudut pandang ini lebih relevan daripada soal bentuk atau cara (aktif - fasif). Direct berarti bahwa kemauan
ditujukan kepada kematian (memperpendek kehidupan). Indirect berarti bahwa
kemauan tidak ditujukan kepada kematian melainkan kepada kehidupan atau nilai
seperti keringanan penderitaan.
c.
Dari sudut otonomi penderita. Sadar dan dapat
menyatakan kehendak atau tak sadar dan tak dapat menyatakan kehendak atau
(incompetent). Tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh
orang lain (transmitted judgement). Tidak sadar dan kehendaknya diduga oleh
orang lain (substitutd judgement).
d.
Dari sudut motif dan prakarsa. Permintaan atau
persetujuan penderita atau keluarganya untuk menghentikan beban (penderitaan
pasien karena belaskasihan atau beban keluarga) atau menghormati kehendak
penderita yang diperlakukan sebagai subjek dengan hak menentukan dirinya
sendiri. Perintah penguasa berdasarkan ideologi tertentu atau kepentingan lain.
d.
Eutanasia
dalam pelaksanaan aspek hukum Pidana
Apabila kita meninjau dari
aspek hukum pidana, maka eutanasia aktif dalam bentuk apapun dilarang.
Eutanasia aktif atas permintaan dilarang menurut pasal 344 KUHP yang berbunyi;
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang
itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 12 tahun”.
Eutanasia aktif maupun pasif
tanpa permintaan dilarang menurut pasal-pasal berikut ini;
Pasal
338:
“Barang siapa dengan sengaja menghlangkan nyawa orang karena
pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 15 tahun”.
Pasal
340:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan
lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah dengan melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau penjara sementara selamalamanya 20 tahun”.
Pasal
359:
“Barang siapa dengan kesalahan/ kelalaian menyebabkan
matinya seseorang, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 1 tahun”.
2.
Pemecahan
Masalah
a.
Masalah-masalah
sekitar Eutanasia
Kalau kita
menelusuri aneka masalah yang dikaitkan dengan eutanasia dan mencoba mengangkat
inti permasalahannya, maka akan nampak pokok yang berkisar pada wewenang
manusia atas hidup dan kesehatan dalam situasi khusus, yakni bila usaha
mempertahankan kelangsungan hidup dinilai tidak ada lagi artinya karena
pelbagai factor.
Dalam
rumusan masalah pokok ini tersirat aneka maslah lain seperti: apa arti “tiada
artinya lagi” (soal kwalitas kehidupan)? Kapan saat mati dan kematian tiba? Di
sinilah salah satu letak kesulitan pokok: “Kalau saatnya memang telah tiba,
manusia tinggal menerimanya. Tetapi bila saatnya belum tiba, manusia tidak
berhak mendatangkannya”.
Proses
alamiah mati dan kematian, terutama ‘saat’ mati menjadi kabur dengan intervensi
ilmu dan teknologi kedokteran yang dapat memperdini secara tidak wajar atau
menunda secara tidak wajar pula. Tetapi
apa arti ‘wajar’ dan ‘tidak wajar’, apa yang menjadi tolok ukurnya?
Jadi, aneka situasi khusus, terutama meningkatnya kemampuan manusia untuk
intervensi dalam proses kehidupan akibat kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran
atau bioteknologi.
Masalah
lain seperti yang dikemukakan oleh Franzmagnis
Suseno SJ (Vocatio dei 1990:51); “Proses kematian sendiri sudah sedemikian
dicampuri oleh para dokter sehingga kita sulit dapat bicara tentang suatu
kematian alamiah. Proses kematian itu sendiri diperpanjang, kematian
diundurundur, organisme manusia dapat distabilkan dalam keadaan yang sudah
rapuh. Fungsi organ-organ vital seperti jantung, paru-paru dan ginjal dapat
diambil oper oleh mesin. Pernapasan buatan dan infus menjamin pertukaran zat,
bahkan kalau organisme sendiri sudah tidak dapat melakukan fungsinya yang
dasariah. Orang tanpa kesadaran, bahkan fungsi otaknya sudah mati sama sekali,
tetap masih dapat dipertahankan kehidupan vegetatifnya. Demikian juga
sebaliknya, kematian seseorang dapat dipercepat dengan pertimbangan berbagai faktor.
Apakah pertimbangan itu didasarkan dari segi motif, tujuan dan otonomi
sipenderita atau keluarga”.
Kemungkinan
di atas menimbulkan segudang masalah moral dan etis. Kehidupan macam apa yang
masih perlu diusahakan kelangsungannya? Apakah kehidupan yang tanpa arti atau
manfaat bagi yang bersangkutan boleh dihentikan? Apakah ada suatu “hidup yang
tidak pantas untuk hidup lagi?” Bolehkan kehidupan diakhiri dengan diberi
suntikan? Atau dibiarkan mati dengan tidak diberi makan?
Ajaran
Kristiani bahwa kehidupan manusia tidak boleh dilanggar karena hanya Tuhanlah
yang berhak untuk menentukan hidup dan mati seseorang semakin tidak dimengerti
lagi.
b.
Sikap
Iman Kristen
Sikap
iman Kristen terhadap eutanasia kepada para pasien yang tengah menderita karena
penyakitnya J.R. Hutauruk mengutip
dari “Eutanasia” (Vocatio Dei 1990:42) mengatakan, oleh semakin disadarinya
Hukum Taurat ke-6; “Jangan membunuh” dengan arti teologis yang terkandung di
dalamnya. Berhubung dengan kasus eutanasia dalam sejarah, beliau melihat ada
empat kasus eutanasia yang harus dijawab oleh iman Kristen Protestan dan etika
moral Katolik yaitu;
Memberikan
pertolongan berupa obat bius kepada orang yang dalam mau meninggal tanpa
memperpendek hidupnya.Eutanasia sebagai pertolongan untuk mati dengan memperpendek umur kehidupannya
Usaha untuk membunuh dengan pertolongan yang tidak dapat dielakkan lagi melihat penderitaan sipasien yang sangat menyedihkan dan tanpa harapan lagi.
Untuk meniadakan orang-orang yang hidupnya tidak berarti.
a. Pengertian Istilah
Terhadap
empat kasus di atas, diberikan jawaban dan meminta pergumulan yang mendalam
dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Pertama; Untuk kasus pertama bahwa hampir semua pihak menyatakan
tidak ada masalah dan kurang perlu dipersoalkan. Kedua: Untuk kasus kedua dan keempat perlu dibangkitkan suatu
kesadaran bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya; bahwa dengan tindakan
tersebut kita membuang hak Allah atau keagunganNya sebagai pencipta, pemelihara
dan penyelamat (bd. Kej 2:7, Ayub 2:6, Yehez. 37: 1-14, Yoh. 14:6). Sebagai
jemaat Kristen perlu mengingat dan menyadari “kepatuhan Kristus dan kepercayaan
akan kebangkitan”.
B. Kieser (1984: 90-91) menjelaskan;
Hasil deklarasi Kongregasi Romawi ajaran Iman tentang eutanasia, bahwa eutanasia
diartikan sebagai bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan. Untuk itu ada tiga
sikap yang harus dipergumulkan oleh
setiap orang Kristen dan hubungan dengan proses eutanasia. Pertama: tidak seorangpun berhak membunuh hidup manusia yang tidak
bersalah. Kedua: tidak seorangpun
diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, apakah itu dirinya sendiri ataupun
untuk diri orang lain. Ketiga: tidak
ada penguasa yang dengan sah dapat memerintah atau mengijinkan pembunuhan.
Dengan konsepsi ini dapat dipahami, bagaimanapun kasusnya, hakekat eutanasia
dalam arti bunuh diri tetap sebagai perbuatan pembunuhan yang tidak dapat
dibenarkan.
R. Krapp mengemukakan tiga alasn kuat,
bahwa pelaksanaan eutanasia tidak dapat dibenarkan. Pertama, setiap norma yang ada pada dasarnya adalah untuk
melindungi hidup manusia. Kedua,
alasan teologis; allahlah yang berkuasa atas hidup manusia. Ketiga, Hidup manusia mempunyai nilai
yang tinggi sekalipun tidak bernilai mutlak (1956: 92, 93).
Ditinjau dari
konsep kasih, kasih itu harus benar-benar merupakan salah satu nilai tertinggi.
Sebab oleh kasih manusia sanggup menikmati kehidupan dan merupakan dorongan
untuk mencapai hal-hal yang tinggi. Kasih itu tidak buta. Menolong manusia
melalui perbuatan yang melanggar norma agama bukanlah kasih, melainkan
sentimentalis yang buta dan non rasialis. Menolong manusia keluar dari
penderitaannya dengan cara mencabut nyawanya bukanlah kasih yang menolong.
3.
Kesimpulan
- Kematian adalah kodrat manusia. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai hak untuk mempercepat kematian seseorang. Kehidupan dan kematian merupakan otoritas Tuhan pencipta, pemelihara dan penyelamat kehidupan itu sendiri. Ilmu kedokteran merupakan anugerah Allah. Oleh karena itu, tugas dokter adalah mengabdikan diri kepada hidup. Menolong hidup seseorang. Dokter adalah hamba hidup, bukan hamba maut. Panggilan dokter adalah untuk merawat atau menjaga kesehatan hidup. Hal itu tidak berarti, bahwa sang dokter harus selalu menggunakan alat-alat dan suntikan-suntikan untuk merangsang jantung supaya tetap berdenyut kendatipun tidak memungkinkan lagi.
- Hidup manusia adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu hidup memiliki nilai yang sangat tinggi karena merupakan karya Tuhan. Seandainya manusia itu ciptaan manusia maka eutanasia tidak akan dipersoalkan. Kematian tidak boleh kita hindari tetapi harus kita alami. Karena manusia bukan milik manusia maka manusia tidak berhak untuk mencabut nyawa manusia.
- Kasih yang ada pada iman Kristen tidaklah buta, tidak akan menolong manusia keluar dari penderitaan dengan cara mencabut nyawa seseorang itu.
- Setiap manusia harus tunduk sesuai dengan rencana Tuhan penciptanya. Hidup atau matinya seseorang tergantung pada ketetapan Tuhan. Eutanasia adalah tindakan di luar dari rencana Allah terhadap hidup manusia itu sendiri.
ooOOoo
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
Piet Go. O. Carm, “Euthanasia” (Beberapa Soal
Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik), Diakoma, Malang, 1989.
2.
STT-HKBP, “Euthanasia”, dalam Majalah
Vocatio Dei, Pematang Siantar, 1990 Edisi XXIX – XXX, STT-HKBP Pematang
Siantar.
3.
H. Sugandhi, “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (K.U.H.P) dengan penjelasannya”, Usaha Nasional – Surabaya, 1980.
4.
B. Kieser, “Ikut Menderita Ikut Percaya”,
Yokyakarta Kanasius, Ende, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar