Senin, 21 November 2011

o Eutanasia


Munculnya eutanasia  sangat erat hubungannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Seiring kemajuan IPTEK itu sendiri, muncullah cara-cara baru di dalam menangani persoalan hidup manusia itu sendiri, khususnya di bidang kesehatan, dimana sebelumnya belum pernah dikenal. Harus kita sadari bahwa kemajuan IPTEK memiliki keterbatasan. Di satu pihak, Kemajuan IPTEK memang berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan hidup, tetapi di lain pihak, menimbulkan masalah baru bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain terbuka peluang menjadi mengabaikan nilai kemanusiaan atau hakekat hidup mansuia itu sendiri.
Untuk membahas eutanasia itu sendiri harus kita lihat dalam konteks kemajuan IPTEK. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu EU – THANATOS. Eu artinya baik tanpa derita, dan Thanatos artinya mati. Euthanatos (kata sifat) artinya mati dengan mudah. Para ahli banyak memberi pengertian dari eutanasia itu sendiri, misalnya Piet Go O. Carm, Pinggodiggo, Wismadi Wahono S, dan J. Wunderli. Dalam pendahuluan ini, kami coba mengutip pendapat Wismady Wahono S dan J. Wunderli, untuk menghantarkan kita akan arti dari eutanasia itu, selanjutnya untuk melihat persoalan-persoalan yang terkandung dalam tindakan tersebut.
            Wismady Wahono S. mengatakan bahwa eutanasia adalah;
“Pemahaman yang mencakup segala usaha yang tertuju kepada matinya seseorang pasien secara tenang, damai dan tanpa rasa sakit. Beliau mengemukakan 4 (empat) macam eutanasia. Pertama, pemberian penjelasan-penjelasan jasmaniah dan rohaniah, khususnya kepada pasien menjelang saat kematiannya, tanpa usaha memperpendek hidupnya. Kedua, menolong si pasien dengan kemungkinan memperpendek hidup. Ketiga, memberikan penyebab kematian, dengan atau tanpa permintaan sipasien, misalnya pada pasien yang mengalami penderitaan yang tak tertahankan. Keempat, pembinasaan terhadap hidup yang dianggab ‘tidak ada manfaatnya’ lagi” (Vokatio Dei, 1990: 46).                  
            J. Wunderli juga membedakan 4 (empat) arti eutanasia;
Pertama, eutanasia murni, yaitu usaha untuk memperringan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Dalam hal ini termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan ‘baik’.Eutanasia macam ini tidak menimbulkan masalah etis dan moral. Kedua, eutanasia Pasif, yaitu kalau tidak dipergunakan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan. Ketiga, eutanasia Aktif (mercy killing), yaitu proses kematian diperringan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Keempat, eutanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperringan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali meninggal dengan lebih cepat. Dalam hal ini termasuk pemberian segala macam obat narkotika, hipnotika dan analgetika yang dapat memperpendek kehidupan”, (J. winderli 1974: 199). 

Dari pemahaman eutanasia di atas, kita dapat melihat beberapa persoalan yang terkandung dalam tindakan tersebut. Berikut ini kami coba daftarkan beberapa persoalan yang perlu kita sikapi sebagai orang Kristen;
  1. Bukankah hanya Allah yang berhak atas hidup manusia itu sendiri?. Jika demikian halnya ilmu kedokteran tersebut sudah terlalu jauh mencampuri otoritas Allah itu sendiri.
  2. Pelaksaan eutanasia atas pertimbangan permintaan si pasien karena tidak tertahankan lagi rasa sakit yang diderita, bukankah itu termasuk kepada pembunuhan yang melangar hukum taurat ke-6? Pelaksanaan eutanasia atas permintaan sipasien bukanlah legitimasi yang dapat dibenarkan.
  3. Pembinasaan terhadap hidup yang dianggap ‘tidak ada manfaatnya’ lagi. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Tidak ada hidup ‘yang tidak ada manfaatnya’. Manfaat hidup yang sesungguhnya harus kita lihat dalam korelasinya dengan penciptanya bukan dalam hal hubungannya dengan penyakit yang diderita ataupun dalam hubungannya dengan pihak keluarga yang menganggabnya tidak berarti lagi.
  4. Sekalipun penyakit seseorang sudah divonis oleh ilmu kedokteran tidak bisa lagi disembuhkan, dalam hal inipun usaha-usaha eutanasia tidak dapat ditolelir, karena pemikiran tersebut menutup peluang terhadap muzizat Tuhan untuk bekerja. 

        
 Apakah Eutanasia itu
Istilah eutanasia itu sendiri ternyata mengandung banyak pengertian. Piet Go O. Carm (1989:6) menyimpulkan pengertian eutanasia itu sebagai berikut;
a.       Arti asli atau etimologis; kematian tenang
b.      Arti medis; tindakan medis untuk meringankan penderitaan, juga dengan bahaya memperpendek hidup.
c.       Arti lebih sempit; mercy killing, mematikan karena belaskasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan agar jangan hidup yang dianggab tak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
            Selanjutnya, Fred Ameln merumuskan pengertian eutanasia itu sebagai berikut; “Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang  hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien. Dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”, (Vocatio Dei, 1990: 5).

b.      Pengertian Eutanasia Dalam Dokumen-Dokumen Gereja
Dokumen terlengkap dan terbaru mengenai eutanasia ialah Declaratio de eutanasia Sacrae Conggregationis pro Doctrina Fidei 5 Mei 1980 yang berbeda dengan banyak dokumen Gereja mendapat sambutan sangat positip dari semua kalangan.
Secara etimologis eutanasia berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memperhatikan arti asli ini, melainkan terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada dalam sakratul maut, kadang-kadang bahkan disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit karena belaskasihan dengan maksud untuk sama sekali mengakhiri penderitaan yang luar biasa atau untuk tidak memperpanjang kehidupan.

c.       Pengertian eutanasia dalam Teologi Moral
Teologi moral sebagai ilmu memiliki aparat yang lebih rinci daripada dokumen gereja dan jauh lebih bebas untuk menyusun hipotesa-hipotesa dalam menanggapi perkembangan terutama yang berasal dari ilmu dan teknologi kedokteran yang menimbulkan masalah baru. Perlu disadari bahwa atribut-atribut direct – indirect dan aktif - pasif tak selalu dipakai dalam arti yang sama dengan akibat keracunan dalam penilaiannya. Piet Go O. Carm (1989:8) memahami eutanasia dari teologi moral hendaknya melihat dari 4 (empat) sudut yaitu;
a.       Dari sudut bentuk/ cara: AKTIF, berarti mengambil keputusan untuk; “melaksanakan tindakan misalnya terapi tertentu seperti memakai  life-supporting system atau life saving treatment atau; melanjutkan terapi”. PASIF, berarti memutuskan untuk tidak mengambil tindakan, misalnya terapi tertentu atau; tidak melanjutkan tindakan tertentu, dengan kata lain, menghentikan tindakan yang telah dimulai dan sedang berlangsung.
b.      Dari sudut maksud (voluntarium). Untuk penilain moral, sudut pandang ini lebih relevan daripada soal bentuk atau cara (aktif  - fasif). Direct berarti bahwa kemauan ditujukan kepada kematian (memperpendek kehidupan). Indirect berarti bahwa kemauan tidak ditujukan kepada kematian melainkan kepada kehidupan atau nilai seperti keringanan penderitaan.
c.       Dari sudut otonomi penderita. Sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tak dapat menyatakan kehendak atau (incompetent). Tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement). Tidak sadar dan kehendaknya diduga oleh orang lain (substitutd judgement).
d.      Dari sudut motif dan prakarsa. Permintaan atau persetujuan penderita atau keluarganya untuk menghentikan beban (penderitaan pasien karena belaskasihan atau beban keluarga) atau menghormati kehendak penderita yang diperlakukan sebagai subjek dengan hak menentukan dirinya sendiri. Perintah penguasa berdasarkan ideologi tertentu atau kepentingan lain.

d.            Eutanasia dalam pelaksanaan aspek hukum Pidana
Apabila kita meninjau dari aspek hukum pidana, maka eutanasia aktif dalam bentuk apapun dilarang. Eutanasia aktif atas permintaan dilarang menurut pasal 344 KUHP yang berbunyi; “Barang siapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 12 tahun”.  
Eutanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang menurut pasal-pasal berikut ini;
Pasal 338:
            “Barang siapa dengan sengaja menghlangkan nyawa orang karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya 15 tahun”.

Pasal 340:
            “Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah dengan melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selamalamanya 20 tahun”.



Pasal 359:
            “Barang siapa dengan kesalahan/ kelalaian menyebabkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 1 tahun”.


2.      Pemecahan Masalah
a.      Masalah-masalah sekitar Eutanasia
Kalau kita menelusuri aneka masalah yang dikaitkan dengan eutanasia dan mencoba mengangkat inti permasalahannya, maka akan nampak pokok yang berkisar pada wewenang manusia atas hidup dan kesehatan dalam situasi khusus, yakni bila usaha mempertahankan kelangsungan hidup dinilai tidak ada lagi artinya karena pelbagai factor.
      Dalam rumusan masalah pokok ini tersirat aneka maslah lain seperti: apa arti “tiada artinya lagi” (soal kwalitas kehidupan)? Kapan saat mati dan kematian tiba? Di sinilah salah satu letak kesulitan pokok: “Kalau saatnya memang telah tiba, manusia tinggal menerimanya. Tetapi bila saatnya belum tiba, manusia tidak berhak mendatangkannya”.
      Proses alamiah mati dan kematian, terutama ‘saat’ mati menjadi kabur dengan intervensi ilmu dan teknologi kedokteran yang dapat memperdini secara tidak wajar atau menunda secara tidak wajar pula. Tetapi  apa arti ‘wajar’ dan ‘tidak wajar’, apa yang menjadi tolok ukurnya? Jadi, aneka situasi khusus, terutama meningkatnya kemampuan manusia untuk intervensi dalam proses kehidupan akibat kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran atau bioteknologi.
      Masalah lain seperti yang dikemukakan oleh Franzmagnis Suseno SJ (Vocatio dei 1990:51); “Proses kematian sendiri sudah sedemikian dicampuri oleh para dokter sehingga kita sulit dapat bicara tentang suatu kematian alamiah. Proses kematian itu sendiri diperpanjang, kematian diundurundur, organisme manusia dapat distabilkan dalam keadaan yang sudah rapuh. Fungsi organ-organ vital seperti jantung, paru-paru dan ginjal dapat diambil oper oleh mesin. Pernapasan buatan dan infus menjamin pertukaran zat, bahkan kalau organisme sendiri sudah tidak dapat melakukan fungsinya yang dasariah. Orang tanpa kesadaran, bahkan fungsi otaknya sudah mati sama sekali, tetap masih dapat dipertahankan kehidupan vegetatifnya. Demikian juga sebaliknya, kematian seseorang dapat dipercepat dengan pertimbangan berbagai faktor. Apakah pertimbangan itu didasarkan dari segi motif, tujuan dan otonomi sipenderita atau keluarga”.
      Kemungkinan di atas menimbulkan segudang masalah moral dan etis. Kehidupan macam apa yang masih perlu diusahakan kelangsungannya? Apakah kehidupan yang tanpa arti atau manfaat bagi yang bersangkutan boleh dihentikan? Apakah ada suatu “hidup yang tidak pantas untuk hidup lagi?” Bolehkan kehidupan diakhiri dengan diberi suntikan? Atau dibiarkan mati dengan tidak diberi makan?
            Ajaran Kristiani bahwa kehidupan manusia tidak boleh dilanggar karena hanya Tuhanlah yang berhak untuk menentukan hidup dan mati seseorang semakin tidak dimengerti lagi.

b.      Sikap Iman Kristen
      Sikap iman Kristen terhadap eutanasia kepada para pasien yang tengah menderita karena penyakitnya J.R. Hutauruk mengutip dari “Eutanasia” (Vocatio Dei 1990:42) mengatakan, oleh semakin disadarinya Hukum Taurat ke-6; “Jangan membunuh” dengan arti teologis yang terkandung di dalamnya. Berhubung dengan kasus eutanasia dalam sejarah, beliau melihat ada empat kasus eutanasia yang harus dijawab oleh iman Kristen Protestan dan etika moral Katolik yaitu;
Memberikan pertolongan berupa obat bius kepada orang yang dalam mau meninggal tanpa memperpendek hidupnya.
Eutanasia sebagai pertolongan untuk mati dengan memperpendek umur kehidupannya
Usaha untuk membunuh dengan pertolongan yang tidak dapat dielakkan lagi melihat penderitaan sipasien yang sangat menyedihkan dan tanpa harapan lagi.
Untuk meniadakan orang-orang yang hidupnya tidak berarti.
a.      Pengertian Istilah

Terhadap empat kasus di atas, diberikan jawaban dan meminta pergumulan yang mendalam dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Pertama; Untuk kasus pertama bahwa hampir semua pihak menyatakan tidak ada masalah dan kurang perlu dipersoalkan. Kedua: Untuk kasus kedua dan keempat perlu dibangkitkan suatu kesadaran bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya; bahwa dengan tindakan tersebut kita membuang hak Allah atau keagunganNya sebagai pencipta, pemelihara dan penyelamat (bd. Kej 2:7, Ayub 2:6, Yehez. 37: 1-14, Yoh. 14:6). Sebagai jemaat Kristen perlu mengingat dan menyadari “kepatuhan Kristus dan kepercayaan akan kebangkitan”.
B. Kieser (1984: 90-91) menjelaskan; Hasil deklarasi Kongregasi Romawi ajaran Iman tentang eutanasia, bahwa eutanasia diartikan sebagai bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan. Untuk itu ada tiga sikap yang  harus dipergumulkan oleh setiap orang Kristen dan hubungan dengan proses eutanasia. Pertama: tidak seorangpun berhak membunuh hidup manusia yang tidak bersalah. Kedua: tidak seorangpun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, apakah itu dirinya sendiri ataupun untuk diri orang lain. Ketiga: tidak ada penguasa yang dengan sah dapat memerintah atau mengijinkan pembunuhan. Dengan konsepsi ini dapat dipahami, bagaimanapun kasusnya, hakekat eutanasia dalam arti bunuh diri tetap sebagai perbuatan pembunuhan yang tidak dapat dibenarkan.
R. Krapp mengemukakan tiga alasn kuat, bahwa pelaksanaan eutanasia tidak dapat dibenarkan. Pertama, setiap norma yang ada pada dasarnya adalah untuk melindungi hidup manusia. Kedua, alasan teologis; allahlah yang berkuasa atas hidup manusia. Ketiga, Hidup manusia mempunyai nilai yang tinggi sekalipun tidak bernilai mutlak (1956: 92, 93).
Ditinjau dari konsep kasih, kasih itu harus benar-benar merupakan salah satu nilai tertinggi. Sebab oleh kasih manusia sanggup menikmati kehidupan dan merupakan dorongan untuk mencapai hal-hal yang tinggi. Kasih itu tidak buta. Menolong manusia melalui perbuatan yang melanggar norma agama bukanlah kasih, melainkan sentimentalis yang buta dan non rasialis. Menolong manusia keluar dari penderitaannya dengan cara mencabut nyawanya bukanlah kasih yang menolong.

3.      Kesimpulan
  1. Kematian adalah kodrat manusia. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai hak untuk mempercepat kematian seseorang. Kehidupan dan kematian merupakan otoritas Tuhan pencipta, pemelihara dan penyelamat kehidupan itu sendiri. Ilmu kedokteran merupakan anugerah Allah. Oleh karena itu, tugas dokter adalah mengabdikan diri kepada hidup. Menolong hidup seseorang. Dokter adalah hamba hidup, bukan hamba maut. Panggilan dokter adalah untuk merawat atau menjaga kesehatan hidup. Hal itu tidak berarti, bahwa sang dokter harus selalu menggunakan alat-alat dan suntikan-suntikan untuk merangsang jantung supaya tetap berdenyut kendatipun tidak memungkinkan lagi.
  2. Hidup manusia adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu hidup memiliki nilai yang sangat tinggi karena merupakan karya Tuhan. Seandainya manusia itu ciptaan manusia maka eutanasia tidak akan dipersoalkan. Kematian tidak boleh kita hindari tetapi harus kita alami. Karena manusia bukan milik manusia maka manusia tidak berhak untuk mencabut nyawa manusia.
  3. Kasih yang ada pada iman Kristen tidaklah buta, tidak akan menolong manusia keluar dari penderitaan dengan cara mencabut nyawa seseorang itu.
  4. Setiap manusia harus tunduk sesuai dengan rencana Tuhan penciptanya. Hidup atau matinya seseorang tergantung pada ketetapan Tuhan.  Eutanasia adalah tindakan di luar dari rencana Allah terhadap hidup manusia itu sendiri.
ooOOoo
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.      Piet Go. O. Carm, “Euthanasia” (Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik), Diakoma, Malang, 1989.
2.      STT-HKBP, “Euthanasia”, dalam Majalah Vocatio Dei, Pematang Siantar, 1990 Edisi XXIX – XXX, STT-HKBP Pematang Siantar.
3.      H. Sugandhi, “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.U.H.P) dengan penjelasannya”, Usaha Nasional – Surabaya, 1980.
4.      B. Kieser, “Ikut Menderita Ikut Percaya”, Yokyakarta Kanasius, Ende, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Popular Posts

Kategori

Pengikut